Ekonom: Laju Dedolarisasi Meningkat 10 Kali Lipat Sejak Konflik Ukraina
Jum'at, 15 September 2023 - 11:16 WIB
JAKARTA - Beralihnya negara-negara dari penggunaan dolar AS ke mata uang lokal ( dedolarisasi ) disinyalir telah meningkat 10 kali lipat sejak Februari 2022 dibandingkan 15 tahun sebelumnya. Hal itu diungkapkan CEO Eurizon SLJ Capital Limited Stephen Jen, kepada Die Welt pada Kamis (14/9).
Menurut mantan ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) dan Morgan Stanley itu, sebagian besar analis melewatkan tren ini karena mereka mengevaluasi nilai nominal kepemilikan dolar bank sentral berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IMF.
"Namun, jika kita memperhitungkan perubahan nilai dolar, maka menurut perhitungan kami, kita akan melihat bahwa porsi dolar dalam cadangan devisa telah berkurang sekitar 11% sejak tahun 2016," jelas Jen seperti dilansir Russia Today, Jumat (15/9/2023).
Dia berpendapat hal itu dipicu keputusan Washington yang membekukan cadangan dolar Rusia setelah negara itu meluncurkan operasi militer terhadap tetangganya, Ukraina, Februari tahun lalu. "Keputusan itu memicu ketakutan dan kecemasan di Beijing, dan juga di negara-negara berkembang lainnya," jelas dia.
Dia menambahkan, menyimpan cadangan devisa dalam dolar AS sebelumnya selalu dianggap benar-benar aman hingga adanya langkah drastis tersebut. Hal itu, kata Jen, lantas membuat negara-negara BRICS semakin fokus pada penggunaan mata uang alternatif selain dolar AS.
Sementara, imbuh ekonom tersebut, sejak BRICS – yang saat ini terdiri dari Rusia, Brasil, India, China, dan Afrika Selatan, dan akan menambah 6 anggota baru pada tahun depan dengan masuknya Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Argentina, Mesir, dan Ethiopia, kekuatan ekonomi dari serikat tersebut menjadi berlipat ganda.
"Dengan mempertimbangkan daya beli, negara-negara BRICS saat ini menyumbang 32% dari output perekonomian global, dibandingkan dengan 30% yang dicakup oleh negara-negara G7," tuturnya.
Menurut mantan ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) dan Morgan Stanley itu, sebagian besar analis melewatkan tren ini karena mereka mengevaluasi nilai nominal kepemilikan dolar bank sentral berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IMF.
"Namun, jika kita memperhitungkan perubahan nilai dolar, maka menurut perhitungan kami, kita akan melihat bahwa porsi dolar dalam cadangan devisa telah berkurang sekitar 11% sejak tahun 2016," jelas Jen seperti dilansir Russia Today, Jumat (15/9/2023).
Dia berpendapat hal itu dipicu keputusan Washington yang membekukan cadangan dolar Rusia setelah negara itu meluncurkan operasi militer terhadap tetangganya, Ukraina, Februari tahun lalu. "Keputusan itu memicu ketakutan dan kecemasan di Beijing, dan juga di negara-negara berkembang lainnya," jelas dia.
Baca Juga
Dia menambahkan, menyimpan cadangan devisa dalam dolar AS sebelumnya selalu dianggap benar-benar aman hingga adanya langkah drastis tersebut. Hal itu, kata Jen, lantas membuat negara-negara BRICS semakin fokus pada penggunaan mata uang alternatif selain dolar AS.
Sementara, imbuh ekonom tersebut, sejak BRICS – yang saat ini terdiri dari Rusia, Brasil, India, China, dan Afrika Selatan, dan akan menambah 6 anggota baru pada tahun depan dengan masuknya Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Argentina, Mesir, dan Ethiopia, kekuatan ekonomi dari serikat tersebut menjadi berlipat ganda.
"Dengan mempertimbangkan daya beli, negara-negara BRICS saat ini menyumbang 32% dari output perekonomian global, dibandingkan dengan 30% yang dicakup oleh negara-negara G7," tuturnya.
(fjo)
tulis komentar anda