Salurkan Rp15.700 Triliun, China Banyak Danai Proyek Energi Kotor
Selasa, 17 Oktober 2023 - 17:42 WIB
JAKARTA - Pemerintah China akan kembali menyelenggarakan Belt and Road Initiative (BRI) Summit pada 17-18 Oktober 2023. Perhelatan yang ke-5 itu menjadi lebih istimewa karena memperingati 10 tahun sejak BRI pertama kali diperkenalkan pada 2013 lalu.
Di hadapan 130 negara dan 30 organisasi internasional, Presiden China Xi Jinping akan menyampaikan pidato khusus dengan tema “High-quality Belt and Road Cooperation: Together for Common Development and Prosperity”.
Setidaknya akan ada tiga forum tingkat tinggi yang akan membahas agenda utama, yakni isu konektivitas, green development (pembangunan hijau), dan ekonomi digital. Hadirnya Presiden Jokowi menjadikan kesempatan untuk mendorong kerja sama pembangunan yang lebih berorientasi pada transisi energi.
Pembangunan hijau menjadi pembahasan yang paling menuai perhatian di antara ketiga isu di BRI Summit. Pasalnya, statistik dan fakta di lapangan menunjukkan masifnya jumlah investasi China di bawah payung BRI yang cukup kontroversial. Tidak hanya karena implementasinya dikritik masih bertentangan dengan semangat green development dan terkendala isu lingkungan, tetapi juga proyek-proyek tersebut belum mencerminkan upaya keberlanjutan (sustainability) sebagaimana digaungkan oleh China.
Bhima Yudhistira, eonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menuturkan bahwa dalam 10 tahun terakhir pendanaan China yang telah dialirkan ke berbagai negara menembus lebih dari US$1 triliun setara Rp15.700 triliun. Nominal yang fantastis tersebut difokuskan untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik, jalur kereta, pelabuhan, jalan raya, hingga jembatan.
“Aliran dana Belt and Road ini mayoritas diterima oleh negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Proyek BRI atas pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang didanai China masih menyumbang sekitar 245 juta ton produksi karbon dioksida per tahun. Di Indonesia sendiri masih banyak proyek yang memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial terutama pembiayaan smelter nikel yang masih gunakan PLTU batu bara skala besar,” kata Bhima, Selasa (17/10/2023).
Tidak dapat dipungkiri, pemerintahan Jokowi sangat menyambut positif proyek Belt and Road Initiative karena mendukung agenda strategis Indonesia yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Menurut laporan AidData tahun 2021, Indonesia menjadi salah satu negara penerima dana terbesar dari China melalui skema BRI. Pengamat dan para ahli Indonesia mengkritik tajam inisiasi dari China tersebut karena masih menggelontorkan dana secara besar-besaran untuk proyek yang tidak ramah lingkungan.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Studi China-Indonesia, CELIOS, menyoroti investasi China di sektor energi terbarukan masih jauh lebih sedikit dibandingkan di sektor energi kotor. Ironisnya, bahkan sebanyak 86% pendanaan China masih disalurkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara melalui China Development Bank (CDB) dan China Export-Import Bank (CHEXIM).
Di hadapan 130 negara dan 30 organisasi internasional, Presiden China Xi Jinping akan menyampaikan pidato khusus dengan tema “High-quality Belt and Road Cooperation: Together for Common Development and Prosperity”.
Setidaknya akan ada tiga forum tingkat tinggi yang akan membahas agenda utama, yakni isu konektivitas, green development (pembangunan hijau), dan ekonomi digital. Hadirnya Presiden Jokowi menjadikan kesempatan untuk mendorong kerja sama pembangunan yang lebih berorientasi pada transisi energi.
Pembangunan hijau menjadi pembahasan yang paling menuai perhatian di antara ketiga isu di BRI Summit. Pasalnya, statistik dan fakta di lapangan menunjukkan masifnya jumlah investasi China di bawah payung BRI yang cukup kontroversial. Tidak hanya karena implementasinya dikritik masih bertentangan dengan semangat green development dan terkendala isu lingkungan, tetapi juga proyek-proyek tersebut belum mencerminkan upaya keberlanjutan (sustainability) sebagaimana digaungkan oleh China.
Bhima Yudhistira, eonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menuturkan bahwa dalam 10 tahun terakhir pendanaan China yang telah dialirkan ke berbagai negara menembus lebih dari US$1 triliun setara Rp15.700 triliun. Nominal yang fantastis tersebut difokuskan untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik, jalur kereta, pelabuhan, jalan raya, hingga jembatan.
“Aliran dana Belt and Road ini mayoritas diterima oleh negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Proyek BRI atas pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang didanai China masih menyumbang sekitar 245 juta ton produksi karbon dioksida per tahun. Di Indonesia sendiri masih banyak proyek yang memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial terutama pembiayaan smelter nikel yang masih gunakan PLTU batu bara skala besar,” kata Bhima, Selasa (17/10/2023).
Tidak dapat dipungkiri, pemerintahan Jokowi sangat menyambut positif proyek Belt and Road Initiative karena mendukung agenda strategis Indonesia yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Menurut laporan AidData tahun 2021, Indonesia menjadi salah satu negara penerima dana terbesar dari China melalui skema BRI. Pengamat dan para ahli Indonesia mengkritik tajam inisiasi dari China tersebut karena masih menggelontorkan dana secara besar-besaran untuk proyek yang tidak ramah lingkungan.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Studi China-Indonesia, CELIOS, menyoroti investasi China di sektor energi terbarukan masih jauh lebih sedikit dibandingkan di sektor energi kotor. Ironisnya, bahkan sebanyak 86% pendanaan China masih disalurkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara melalui China Development Bank (CDB) dan China Export-Import Bank (CHEXIM).
tulis komentar anda