Salurkan Rp15.700 Triliun, China Banyak Danai Proyek Energi Kotor
Selasa, 17 Oktober 2023 - 17:42 WIB
"Padahal pidato Xi Jinping pada 2021 lalu telah secara tegas berkomitmen untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batu bara. Realitanya, dalam konteks Indonesia, janji tersebut ternyata masih menjadi komitmen hampa, mengingat belum ada tindakan serius atas isu ini dari dua belah pihak, baik China maupun pemerintah Indonesia,” tegas Fikar.
Bukti dari lemahnya komitmen China untuk beralih ke investasi energi bersih terlihat pada laporan China Belt and Road Initiative (BRI) Investment Report 2022 yang menyebutkan bahwa masih terdapat proyek yang melibatkan pengembangan captive power plant untuk energi listrik. Meskipun sudah berkomitmen, pada kenyataannya China masih mengalirkan dana yang deras untuk mendukung energi kotor melalui proyek jumbo pembangkit listrik captive.
"Salah satunya pembangkit listrik tenaga termal 4x380-megawatt di Pulau Obi yang merupakan proyek PT Halmahera Jaya Feronikel, yakni perusahaan patungan antara Lygend dari China dan Harita Group dari Indonesia,” Yeta Purnama, peneliti CELIOS.
Tidak hanya itu, Power Construction Corp atau dikenal dengan Power China juga masih terlibat dalam proyek pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Tengah dengan target akan menjual 30 juta ton batu bara.
Ketergantungan investasi China pada sektor penyumbang emisi karbon ini juga disebabkan oleh kebijakan hilirisasi yang didorong oleh pemerintahan Jokowi, terutama pada industri nikel. Dominasi investasi pertambangan ini dapat dilihat dari nilai realisasi investasi pada 2022 yang mencapai Rp 136,4 triliun.
“Kegencaran pemerintah dalam melakukan hilirisasi nikel untuk transisi energi menjadi salah satu faktor tingginya angka investasi di sektor pertambangan yang kurang ramah lingkungan. Tak heran banyak pihak yang menyebut kebijakan tersebut sebagai solusi yang problematis karena proses pemurniannya masih ditunjang oleh energi dari bahan bakar fosil terutama batu bara,” terang Fikar.
Lebih lanjut, Bhima menambahkan, “Pemerintah Indonesia harus lebih tegas memastikan bahwa proyek yang sudah dan akan berjalan harus ke arah yang lebih rendah emisi karbon dan ke depannya harus lebih selektif memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan".
Bukti dari lemahnya komitmen China untuk beralih ke investasi energi bersih terlihat pada laporan China Belt and Road Initiative (BRI) Investment Report 2022 yang menyebutkan bahwa masih terdapat proyek yang melibatkan pengembangan captive power plant untuk energi listrik. Meskipun sudah berkomitmen, pada kenyataannya China masih mengalirkan dana yang deras untuk mendukung energi kotor melalui proyek jumbo pembangkit listrik captive.
"Salah satunya pembangkit listrik tenaga termal 4x380-megawatt di Pulau Obi yang merupakan proyek PT Halmahera Jaya Feronikel, yakni perusahaan patungan antara Lygend dari China dan Harita Group dari Indonesia,” Yeta Purnama, peneliti CELIOS.
Tidak hanya itu, Power Construction Corp atau dikenal dengan Power China juga masih terlibat dalam proyek pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Tengah dengan target akan menjual 30 juta ton batu bara.
Ketergantungan investasi China pada sektor penyumbang emisi karbon ini juga disebabkan oleh kebijakan hilirisasi yang didorong oleh pemerintahan Jokowi, terutama pada industri nikel. Dominasi investasi pertambangan ini dapat dilihat dari nilai realisasi investasi pada 2022 yang mencapai Rp 136,4 triliun.
“Kegencaran pemerintah dalam melakukan hilirisasi nikel untuk transisi energi menjadi salah satu faktor tingginya angka investasi di sektor pertambangan yang kurang ramah lingkungan. Tak heran banyak pihak yang menyebut kebijakan tersebut sebagai solusi yang problematis karena proses pemurniannya masih ditunjang oleh energi dari bahan bakar fosil terutama batu bara,” terang Fikar.
Lebih lanjut, Bhima menambahkan, “Pemerintah Indonesia harus lebih tegas memastikan bahwa proyek yang sudah dan akan berjalan harus ke arah yang lebih rendah emisi karbon dan ke depannya harus lebih selektif memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan".
(uka)
tulis komentar anda