Kerap Jadi Korban Razia, Produsen Knalpot Racing Terancam Bangkrut
Sabtu, 24 Februari 2024 - 17:01 WIB
JAKARTA - Asosiasi Knalpot Seluruh Indonesia (AKSI) menyebutkan, produsen knalpot racing di dalam negeri terancam gulung tikar akibat seringnya pengguna produk mereka menjadi korban razia aparat kepolisian. Akibat razia tersebut,penjualan knalpot racing disebutkan anjlok hingga 70%.
Ketua AKSI Asep Hendro menjelaskan, akibat banyaknya razia tersebut, penjualan anjlok dan produksi knalpot racing pun tersendat. Hal itu, kata dia, berdampak pada karyawan yang terpaksa harus dirumahkan seiring turunnya penjualan.
"Kalau dalam waktu 2-3 bulan ini tidak ada tindak lanjut, usaha kami bisa gulung tikar. Dari 20 anggota kami saja sudah mempekerjakan 15.000 orang, jadi mereka sangat perlu untuk dilindungi," ujar Asep dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (24/2/2024).
Seruan itu ditanggapi Deputi Bidang UKM KemenKop UKM Hanung Harimba Rachman yang mengatakan bahwa produk knalpot yang diproduksi AKSI sebenarnya sudah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56/2019 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor.
Namun praktiknya, kata dia, pengguna knalpot produksi UMKM yang telah memenuhi standar tersebut kerap dianggap menyalahi aturan dan mengganggu ketertiban. "Knalpot yang mereka gunakan itu seringkali disamakan dengan knalpot brong yang tidak standar," cetusnya.
Padahal, tegas Harimba, produsen yang memproduksi knalpot after market itu sudah mengikuti ketentuan yang berlaku mengenai ambang batas, emisi, dan lainnya. "Ini kita akan cari jalan keluar supaya aparat mudah memahami mana knalpot brong dan mana knalpot yang sesuai ketentuan," ujar Hanung.
Dengan mengkaji regulasi yang sudah ada, lanjut dia, diharapkan ada regulasi baru yang lebih mudah diimplementasikan di lapangan sehingga aparat kepolisian yang bertugas di lapangan dapat membedakan knalpot standar produksi UMKM dan knalpot brong terkait melakukan penindakan. Di sisi lain, produsen knalpot tersebut tetap terlindungi sehingga ribuan tenaga kerja tetap bisa bermata pencaharian.
"Tugas utama pemerintah yang paling penting adalah membuat regulasi yang tepat dan benar, nah itu yang akan kita lakukan. Kami akan melihat regulasinya agar dapat dilakukan penyempurnaan sehingga dalam pelaksanaan semakin mempermudah semua termasuk oleh aparat hukum," tegas Hanung.
Diakui bahwa saat ini belum ada sertifikasi teknis atau SNI untuk knalpot after market. Sebagai perbandingan, negara tetangga, Filipina telah mengumumkan perubahan standar nasional untuk knalpot motor melalui Undang-Undang Muffler tahun 2022, yang merekomendasikan batas suara sebesar 99 desibel (dB).
Aturan tersebut menetapkan tingkat suara knalpot kendaraan bermotor tidak boleh melebihi 99 dB dan diukur pada putaran mesin 2.000 hingga 2.500 rpm. Oleh sebab itu produsen knalpot dalam negeri dituntut untuk menyesuaikan standar mereka dan memperoleh sertifikasi teknis yang sesuai dengan regulasi ini.
Ketua AKSI Asep Hendro menjelaskan, akibat banyaknya razia tersebut, penjualan anjlok dan produksi knalpot racing pun tersendat. Hal itu, kata dia, berdampak pada karyawan yang terpaksa harus dirumahkan seiring turunnya penjualan.
"Kalau dalam waktu 2-3 bulan ini tidak ada tindak lanjut, usaha kami bisa gulung tikar. Dari 20 anggota kami saja sudah mempekerjakan 15.000 orang, jadi mereka sangat perlu untuk dilindungi," ujar Asep dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (24/2/2024).
Seruan itu ditanggapi Deputi Bidang UKM KemenKop UKM Hanung Harimba Rachman yang mengatakan bahwa produk knalpot yang diproduksi AKSI sebenarnya sudah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56/2019 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor.
Namun praktiknya, kata dia, pengguna knalpot produksi UMKM yang telah memenuhi standar tersebut kerap dianggap menyalahi aturan dan mengganggu ketertiban. "Knalpot yang mereka gunakan itu seringkali disamakan dengan knalpot brong yang tidak standar," cetusnya.
Padahal, tegas Harimba, produsen yang memproduksi knalpot after market itu sudah mengikuti ketentuan yang berlaku mengenai ambang batas, emisi, dan lainnya. "Ini kita akan cari jalan keluar supaya aparat mudah memahami mana knalpot brong dan mana knalpot yang sesuai ketentuan," ujar Hanung.
Dengan mengkaji regulasi yang sudah ada, lanjut dia, diharapkan ada regulasi baru yang lebih mudah diimplementasikan di lapangan sehingga aparat kepolisian yang bertugas di lapangan dapat membedakan knalpot standar produksi UMKM dan knalpot brong terkait melakukan penindakan. Di sisi lain, produsen knalpot tersebut tetap terlindungi sehingga ribuan tenaga kerja tetap bisa bermata pencaharian.
"Tugas utama pemerintah yang paling penting adalah membuat regulasi yang tepat dan benar, nah itu yang akan kita lakukan. Kami akan melihat regulasinya agar dapat dilakukan penyempurnaan sehingga dalam pelaksanaan semakin mempermudah semua termasuk oleh aparat hukum," tegas Hanung.
Diakui bahwa saat ini belum ada sertifikasi teknis atau SNI untuk knalpot after market. Sebagai perbandingan, negara tetangga, Filipina telah mengumumkan perubahan standar nasional untuk knalpot motor melalui Undang-Undang Muffler tahun 2022, yang merekomendasikan batas suara sebesar 99 desibel (dB).
Aturan tersebut menetapkan tingkat suara knalpot kendaraan bermotor tidak boleh melebihi 99 dB dan diukur pada putaran mesin 2.000 hingga 2.500 rpm. Oleh sebab itu produsen knalpot dalam negeri dituntut untuk menyesuaikan standar mereka dan memperoleh sertifikasi teknis yang sesuai dengan regulasi ini.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda