Ekspor Biodiesel RI ke Uni Eropa Anjlok 70%, Ternyata Ini Biang Keroknya
Selasa, 27 Februari 2024 - 16:26 WIB
Selanjutnya, adapula tuduhan anti dumping pengenaan bea masuk tambahan atas produk bioenergi khususnya sawit , terbaru adanya regulasi bebas deforestasi oleh Uni Eropa atau European Union Deforestation-free Regulation (EUDR).
"Berbagai tantangan tersebut telah menurunkan ekspor biodiesel kita hingga 70 persen," jelas Jisman.
Oleh karena itu, menurutnya untuk mengatasi berbagai tantangan itu dibutuhkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak termasuk industri hingga akademisi lembaga swadaya masyarakat.
Padahal, lanjut Jisman, pada saat yang sama, Indonesia juga perlu eksplorasi peluang dan potensi yang belum tergarap sepenuhnya dalam industri bioenergi, inovasi teknologi, pengembangan pasar, kemitraan strategi investasi yang masif dalam rangka kebijakan yang kondusif adalah beberapa bidang di mana Indonesia dapat melihat potensi besar untuk pertumbuhan dan perkembangan industri bioenergi di masa depan.
"Kita perlu mencari dan mengembangkan sumber bioenergi alternatif yang berkelanjutan dan tidak bersaing dengan industri pangan seperti limbah pertanian, sampah kota dan tanaman khusus energi seperti ponamia, sorgum dan tanaman lain, di mana sawit dapat menjadi mbenchmark sebagai komoditas yang memiliki produktifitas tinggi dan harga terjangkau," tuturnya.
Terakhir, Jisman menilai, pelaku usaha dan akademisi perlu melakukan penelitian dan pengembangan affordable technology dalam produksi konversi dan oenggunaan bioenergi. Sebab menurutnya, keterbatasan infrastruktur dapat diatasi dengan melibatkan BUMN dan swasta untuk berinvestasi termasuk melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU.
"Prinsip keberlanjutan dalam produksi pemanfaatan bioenergi perlu segera diterapkan seperti yang saat ini dilakukan melalui penyusunan regulasi Indonesuia sustainable palm oil atau ISPO termasuk biodiesel di sisi hulu sampai hilir," pungkasnya.
"Berbagai tantangan tersebut telah menurunkan ekspor biodiesel kita hingga 70 persen," jelas Jisman.
Oleh karena itu, menurutnya untuk mengatasi berbagai tantangan itu dibutuhkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak termasuk industri hingga akademisi lembaga swadaya masyarakat.
Padahal, lanjut Jisman, pada saat yang sama, Indonesia juga perlu eksplorasi peluang dan potensi yang belum tergarap sepenuhnya dalam industri bioenergi, inovasi teknologi, pengembangan pasar, kemitraan strategi investasi yang masif dalam rangka kebijakan yang kondusif adalah beberapa bidang di mana Indonesia dapat melihat potensi besar untuk pertumbuhan dan perkembangan industri bioenergi di masa depan.
"Kita perlu mencari dan mengembangkan sumber bioenergi alternatif yang berkelanjutan dan tidak bersaing dengan industri pangan seperti limbah pertanian, sampah kota dan tanaman khusus energi seperti ponamia, sorgum dan tanaman lain, di mana sawit dapat menjadi mbenchmark sebagai komoditas yang memiliki produktifitas tinggi dan harga terjangkau," tuturnya.
Terakhir, Jisman menilai, pelaku usaha dan akademisi perlu melakukan penelitian dan pengembangan affordable technology dalam produksi konversi dan oenggunaan bioenergi. Sebab menurutnya, keterbatasan infrastruktur dapat diatasi dengan melibatkan BUMN dan swasta untuk berinvestasi termasuk melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU.
"Prinsip keberlanjutan dalam produksi pemanfaatan bioenergi perlu segera diterapkan seperti yang saat ini dilakukan melalui penyusunan regulasi Indonesuia sustainable palm oil atau ISPO termasuk biodiesel di sisi hulu sampai hilir," pungkasnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda