Risiko Ekonomi Meningkat, Pemerintah Perlu Hati-hati Kelola Anggaran
Senin, 22 April 2024 - 13:25 WIB
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan anggaran negara terkait potensi pelemahan ekonomi akibat konflik di Timur Tengah. Apalagi dalam waktu bersamaan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus melemah. Terbaru, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa pemerintah akan menaikkan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi 850 ribu barel per hari (bph) akibat penurunan produksi migas nasional.
Sejumlah kebijakan yang dinilai menjadi beban anggaran pemerintah adalah Program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Sebab itu, pemerintah perlu hati-hati mengelola anggaran di tengah peningkaan risiko ekonomi.
”Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah,” ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, (22/4/2024).
Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurutnya, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar.
"Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar," tegasnya.
Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan, yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya.
"Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18% dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal," kata Bhima.
Pertimbangan ketiga yaitu dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerjanya. "Tidak banyak berubah dibandingkan pra-pandemi," imbuhnya.
Sejumlah kebijakan yang dinilai menjadi beban anggaran pemerintah adalah Program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Sebab itu, pemerintah perlu hati-hati mengelola anggaran di tengah peningkaan risiko ekonomi.
”Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah,” ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, (22/4/2024).
Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurutnya, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar.
"Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar," tegasnya.
Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan, yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya.
"Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18% dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal," kata Bhima.
Pertimbangan ketiga yaitu dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerjanya. "Tidak banyak berubah dibandingkan pra-pandemi," imbuhnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda