Pengelolaan Sistem Ketenagalistrikan selain PLN Salahi Putusan MK
Rabu, 18 September 2024 - 21:44 WIB
JAKARTA - Pengelolaan sistem ketenagalistrikan selain oleh PLN dinilai merupakan pelanggaran konstitusi dan menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya, penguasaan jaringan transmisi ketenagalistrikan dikuasai negara melalui BUMN, yaitu PLN.
"Itu amanat konstitusi yang diturunkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional/RUKN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik/RUPTL," kata pengamat Energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, dikutip Rabu (18/9/2024).
Baca Juga: Power Wheeling Berisiko Ganggu Program Strategis Pemerintah Baru
Menurut Marwan, sistem ketenagalistrikan sebaiknya dijalankan sesuai aturan saja. Dalam hal ini, yang bisa menjual listrik ke masyarakat hanya PLN. "Jadi sekali lagi, aturan jangan diakal-akali. Nanti melanggar. Jangan seolah-olah boleh, tapi melanggar," kata Marwan.
Pernyataan Marwan tersebut merespons upaya beberapa pihak swasta dan bahkan BUMN lain non-ketenagalistrikan yang ingin menumpang jaringan ketenagalistrikan yang selama ini dikelola negara melalui PLN. Keinginan itu muncul bersamaan saat DPR dan pemerintah membahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih alot karena power wheeling yang membolehkan perusahaan lain menumpang jaringan ketenagalistrikan yang saat ini dikelola PLN. "Beberapa kali skema power wheeling disusupkan dalam RUU EBET," katanya.
Power wheeling, menurut Marwan, merupakan aturan yang menabrak Pasal 33 UUD 1945. Meski skema power wheeling sudah berkali-kali dibatalkan MK, tetap saja muncul. "Memaksakan power wheeling lagi, ya melanggar konstitusi lagi," katanya.
Lebih lanjut, Marwan menjabarkan, bahwa putusan MK No.36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. "Melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah PLN," katanya.
Baca Juga: Anggota DPR Tolak Pasal Power Wheeling dalam RUU EBET, Ini Alasannya
Selanjutnya, papar Marwan, ada Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
"Terbaru, putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945," tegas Marwan.
Lebih jauh, skema power wheeling sangat berisiko mewariskan tarif listrik yang tidak lagi terjangkau bagi rakyat, apalagi jika power wheeling dibuka untuk swasta. Selain itu, negara juga dirugikan karena jaringan transmisi listriknya digunakan juga oleh swasta.
"Investasi jaringan listrik itu mahal," katanya.
"Itu amanat konstitusi yang diturunkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional/RUKN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik/RUPTL," kata pengamat Energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, dikutip Rabu (18/9/2024).
Baca Juga: Power Wheeling Berisiko Ganggu Program Strategis Pemerintah Baru
Menurut Marwan, sistem ketenagalistrikan sebaiknya dijalankan sesuai aturan saja. Dalam hal ini, yang bisa menjual listrik ke masyarakat hanya PLN. "Jadi sekali lagi, aturan jangan diakal-akali. Nanti melanggar. Jangan seolah-olah boleh, tapi melanggar," kata Marwan.
Pernyataan Marwan tersebut merespons upaya beberapa pihak swasta dan bahkan BUMN lain non-ketenagalistrikan yang ingin menumpang jaringan ketenagalistrikan yang selama ini dikelola negara melalui PLN. Keinginan itu muncul bersamaan saat DPR dan pemerintah membahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih alot karena power wheeling yang membolehkan perusahaan lain menumpang jaringan ketenagalistrikan yang saat ini dikelola PLN. "Beberapa kali skema power wheeling disusupkan dalam RUU EBET," katanya.
Power wheeling, menurut Marwan, merupakan aturan yang menabrak Pasal 33 UUD 1945. Meski skema power wheeling sudah berkali-kali dibatalkan MK, tetap saja muncul. "Memaksakan power wheeling lagi, ya melanggar konstitusi lagi," katanya.
Lebih lanjut, Marwan menjabarkan, bahwa putusan MK No.36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. "Melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah PLN," katanya.
Baca Juga: Anggota DPR Tolak Pasal Power Wheeling dalam RUU EBET, Ini Alasannya
Selanjutnya, papar Marwan, ada Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
"Terbaru, putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945," tegas Marwan.
Lebih jauh, skema power wheeling sangat berisiko mewariskan tarif listrik yang tidak lagi terjangkau bagi rakyat, apalagi jika power wheeling dibuka untuk swasta. Selain itu, negara juga dirugikan karena jaringan transmisi listriknya digunakan juga oleh swasta.
"Investasi jaringan listrik itu mahal," katanya.
(nng)
tulis komentar anda