Kenapa Dolar AS Tak Goyang di Tengah Isu Mata Uang Baru BRICS
Selasa, 01 Oktober 2024 - 18:43 WIB
Sementara itu China tercatat sangat aktif mendukung likuiditas renminbi melalui jalur swap dengan mitra dagangnya, tetapi pangsa renminbi sebagai cadangan mata uang asing global disebut mengalami penurunan menjadi 2,3% dari posisi puncak di tahun 2022 yakni 2,8%.
"Ini mungkin karena kekhawatiran tentang ekonomi China, posisi Beijing saat perang Rusia-Ukraina, dan potensi invasi China ke Taiwan yang berkontribusi pada persepsi renminbi sebagai mata uang cadangan yang berisiko secara geopolitik," kata laporan itu.
Di sisi lain euro yang pernah dianggap sebagai pesaing utama dolar juga melemah sebagai mata uang alternatif, dimana mereka yang ingin mengurangi eksposur risiko beralih ke emas sebagai gantinya, diungkapkan laporan ini.
Dikatakan sanksi Rusia juga membuat euro terkena risiko geopolitik yang sama dengan dolar. "Kekhawatiran seputar stabilitas makroekonomi, konsolidasi fiskal, dan kurangnya serikat pasar modal Eropa juga merugikan peran internasional euro," katanya.
"Mata uang mana yang ingin Anda miliki ketika pasar saham global mulai turun, dan ekonomi global cenderung menuju resesi? Anda ingin memposisikan dalam dolar AS karena secara historis mempengaruhi nilai tukar terhadap peristiwa semacam itu," ungkap kepala strategi FX bank untuk pasar negara berkembang, James Lord seperti dilansir Business insider.
"Intinya, dolar menjadi Raja yang tidak memiliki penantang," ungkap Michael Zezas, kepala penelitian kebijakan publik AS.
"Tampaknya tidak mungkin untuk menantang dolar AS secara berarti dalam waktu dekat. Untuk melakukannya, kami pikir China perlu melonggarkan kendali mata uangnya dan membuka rekening modal. Tampaknya Beijing tidak ingin melakukan ini dalam waktu dekat," kata Lord.
Selain itu kondisi ekonomi China menjadi pertanyaan, mengingat permintaan konsumen yang melorot dan krisis properti yang sedang berlangsung di negara tersebut.
"Ini mungkin karena kekhawatiran tentang ekonomi China, posisi Beijing saat perang Rusia-Ukraina, dan potensi invasi China ke Taiwan yang berkontribusi pada persepsi renminbi sebagai mata uang cadangan yang berisiko secara geopolitik," kata laporan itu.
Di sisi lain euro yang pernah dianggap sebagai pesaing utama dolar juga melemah sebagai mata uang alternatif, dimana mereka yang ingin mengurangi eksposur risiko beralih ke emas sebagai gantinya, diungkapkan laporan ini.
Dikatakan sanksi Rusia juga membuat euro terkena risiko geopolitik yang sama dengan dolar. "Kekhawatiran seputar stabilitas makroekonomi, konsolidasi fiskal, dan kurangnya serikat pasar modal Eropa juga merugikan peran internasional euro," katanya.
Faktor yang Membuat Dominasi Dolar AS Terjaga
Morgan Stanley menyebutkan, status dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang utama bank sentral dan untuk perdagangan internasional tidak akan segera memudar. Sementara itu belakangan fenomena dedolarisasi terus menggema karena tingginya inflasi serta ketidakpastian global."Mata uang mana yang ingin Anda miliki ketika pasar saham global mulai turun, dan ekonomi global cenderung menuju resesi? Anda ingin memposisikan dalam dolar AS karena secara historis mempengaruhi nilai tukar terhadap peristiwa semacam itu," ungkap kepala strategi FX bank untuk pasar negara berkembang, James Lord seperti dilansir Business insider.
"Intinya, dolar menjadi Raja yang tidak memiliki penantang," ungkap Michael Zezas, kepala penelitian kebijakan publik AS.
1. Yuan Tak Cukup Likuid Menantang Dolar
Yuan China oleh para pejabat di Beijing telah coba diposisikan sebagai penantang dolar di panggung dunia, namun para ekonom menilainya tidak cukup likuid untuk benar-benar mengganggu dominasi greenback. Hal itu sebagian karena kontrol modal yang ketat oleh China pada mata uangnya, sehingga membatasi jumlah uang tunai yang dapat dibawa masuk dan keluar dari negara itu."Tampaknya tidak mungkin untuk menantang dolar AS secara berarti dalam waktu dekat. Untuk melakukannya, kami pikir China perlu melonggarkan kendali mata uangnya dan membuka rekening modal. Tampaknya Beijing tidak ingin melakukan ini dalam waktu dekat," kata Lord.
Selain itu kondisi ekonomi China menjadi pertanyaan, mengingat permintaan konsumen yang melorot dan krisis properti yang sedang berlangsung di negara tersebut.
tulis komentar anda