Ancaman Arab Saudi Bisa Bikin Krisis Ekonomi Perang Rusia
Rabu, 16 Oktober 2024 - 08:14 WIB
Data Peringkat Global S & P menghitung Rusia berada di antara produsen yang memproduksi secara berlebihan di OPEC+. Menurut data terakhir yang tersedia, Moskow memproduksi 122.000 barel di atas kuota hariannya pada bulan Juli. Selain itu Iran dan Kazakhstan juga melanggar ambang batas yang disepakati.
Dalam kasus Rusia, Moskow menghadapi tekanan untuk meraup sebanyak yang dimiliki, karena perangnya di Ukraina telah menggelembung pengeluaran pertahanan dan keamanan dalam perang yang sudah berjalan tiga tahun. Sektor-sektor ini secara kolektif akan menyumbang 40% dari semua pengeluaran federal di Rusia tahun depan.
Sementara itu, keuangan Rusia sangat bergantung pada pendapatan minyak. Beberapa tahun yang lalu, produksi gas dan minyak menyumbang 35% hingga 40% dari pendapatan anggaran negara, kata menteri keuangan Rusia minggu ini.
Karena alasan inilah Barat begitu fokus untuk mengekang keuntungan minyak Rusia. Pembatasan harga minyak Rusia USD60 diperkenalkan, meski inisiatif tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Menghadapi pembatasan harga itu, Rusia mampu menghindarinya dengan menggunakan kapal tanker "bayangan" yang tidak terdaftar. Akan tetapi ancaman Riyadh membuat harga minyak jadi USD50 per barel, mungkin lebih sulit untuk diatasi.
Keadaan bisa berubah menjadi buruk jika pasokan Arab Saudi menyalakan kembali perang harga minyak antara Rusia dan kerajaan. Henderson mengutarakan hal itu bisa terjadi, mengacu pada peristiwa serupa pada tahun 2020.
Tahun itu, ketidaksepakatan pemotongan produksi mendorong kedua negara untuk melepaskan pasokan, menguji siapa yang bisa bertahan lebih lama dari pelemahan harga.
Namun saat kondisi ekonomi perang, Rusia diyakini bakal menghindari perang harga dengan Riyadh. Namun jika hal itu dilakukan bakal menjadi dilema buat Rusia karena bisa mempengaruhi pendapatan, dengan produksi yang terbatas.
Jika hal-hal berubah menjadi yang terburuk, potensi perang harga menjadi berita buruk bagi Rusia.
Dilema Kremlin
Henderson memperkirakan, bahwa beberapa anggota OPEC mungkin melakukan ini untuk memaksimalkan keuntungan.Dalam kasus Rusia, Moskow menghadapi tekanan untuk meraup sebanyak yang dimiliki, karena perangnya di Ukraina telah menggelembung pengeluaran pertahanan dan keamanan dalam perang yang sudah berjalan tiga tahun. Sektor-sektor ini secara kolektif akan menyumbang 40% dari semua pengeluaran federal di Rusia tahun depan.
Sementara itu, keuangan Rusia sangat bergantung pada pendapatan minyak. Beberapa tahun yang lalu, produksi gas dan minyak menyumbang 35% hingga 40% dari pendapatan anggaran negara, kata menteri keuangan Rusia minggu ini.
Karena alasan inilah Barat begitu fokus untuk mengekang keuntungan minyak Rusia. Pembatasan harga minyak Rusia USD60 diperkenalkan, meski inisiatif tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Menghadapi pembatasan harga itu, Rusia mampu menghindarinya dengan menggunakan kapal tanker "bayangan" yang tidak terdaftar. Akan tetapi ancaman Riyadh membuat harga minyak jadi USD50 per barel, mungkin lebih sulit untuk diatasi.
Keadaan bisa berubah menjadi buruk jika pasokan Arab Saudi menyalakan kembali perang harga minyak antara Rusia dan kerajaan. Henderson mengutarakan hal itu bisa terjadi, mengacu pada peristiwa serupa pada tahun 2020.
Tahun itu, ketidaksepakatan pemotongan produksi mendorong kedua negara untuk melepaskan pasokan, menguji siapa yang bisa bertahan lebih lama dari pelemahan harga.
Namun saat kondisi ekonomi perang, Rusia diyakini bakal menghindari perang harga dengan Riyadh. Namun jika hal itu dilakukan bakal menjadi dilema buat Rusia karena bisa mempengaruhi pendapatan, dengan produksi yang terbatas.
Jika hal-hal berubah menjadi yang terburuk, potensi perang harga menjadi berita buruk bagi Rusia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda