Sritex Bangkrut, Bukti Produk Tekstil Indonesia Kalah Saing
Sabtu, 26 Oktober 2024 - 16:23 WIB
JAKARTA - Kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk ( Sritex ) dinilai menjadi bukti penurunan daya saing industri tekstil dalam negeri. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini mengatakan, hal ini ditandai dengan membanjirnya produk tekstil China di dalam negeri.
"Betul industri tekstil mengalami sunset. Salah satu penyebabnya karena lemah dan menurunnya daya saing," kata Eisha saat dihubungi MNC Portal, Sabtu (26/10/2024).
Menurutnya, penurunan daya saing ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain upah pekerja yang tinggi dan teknologi industri di Indonesia yang kurang memadai. Kelemahan-kelemahan itu menyebabkan inefisien sehingga biaya produksi di dalam negeri menjadi mahal.
Dalam persoalan ini, Eisha menilai Indonesia tertinggal ketimbang Vietnam atau China. Penggunaan teknologi di industri di Vietnam atau China, membuat ongkos produksi produk tekstil menjadi lebih murah ketimbang di Indonesia.
"Di pasar global produk tekstil Indonesia juga kalah bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam, China yang memiliki daya saing tinggi, dari murahnya labor (upah pekerja) yang digunakan, juga teknologi yang digunakan," tuturnya.
Berdasarkan penelitian tentang total production cost TPT di beberapa negara produsen dan eksportir TPT pada tahun 2021 oleh International Textile Manufacturing Federation (ITMF), diketahui bahwa India mengungguli hampir semua negara dengan biaya produksi terendah dari sisi bahan baku dan upah.
Kemudian, Vietnam unggul sebagai negara dengan biaya terendah untuk komponen biaya energi dan bunga modal. Sementara Pakistan dan Bangladesh unggul dalam hal biaya upah yang rendah.
"Sementara industri tekstil dalam negeri menghadapi biaya tinggi, tergantung bahan baku impor, juga kurangnya penggunaan modal dengan teknologi tinggi," tandas Eisha.
"Betul industri tekstil mengalami sunset. Salah satu penyebabnya karena lemah dan menurunnya daya saing," kata Eisha saat dihubungi MNC Portal, Sabtu (26/10/2024).
Menurutnya, penurunan daya saing ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain upah pekerja yang tinggi dan teknologi industri di Indonesia yang kurang memadai. Kelemahan-kelemahan itu menyebabkan inefisien sehingga biaya produksi di dalam negeri menjadi mahal.
Dalam persoalan ini, Eisha menilai Indonesia tertinggal ketimbang Vietnam atau China. Penggunaan teknologi di industri di Vietnam atau China, membuat ongkos produksi produk tekstil menjadi lebih murah ketimbang di Indonesia.
"Di pasar global produk tekstil Indonesia juga kalah bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam, China yang memiliki daya saing tinggi, dari murahnya labor (upah pekerja) yang digunakan, juga teknologi yang digunakan," tuturnya.
Berdasarkan penelitian tentang total production cost TPT di beberapa negara produsen dan eksportir TPT pada tahun 2021 oleh International Textile Manufacturing Federation (ITMF), diketahui bahwa India mengungguli hampir semua negara dengan biaya produksi terendah dari sisi bahan baku dan upah.
Kemudian, Vietnam unggul sebagai negara dengan biaya terendah untuk komponen biaya energi dan bunga modal. Sementara Pakistan dan Bangladesh unggul dalam hal biaya upah yang rendah.
"Sementara industri tekstil dalam negeri menghadapi biaya tinggi, tergantung bahan baku impor, juga kurangnya penggunaan modal dengan teknologi tinggi," tandas Eisha.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda