Produktivitas Menurun di Sebagian Besar Uni Eropa, IMF Ungkap 3 Biang Keroknya
Senin, 28 Oktober 2024 - 07:32 WIB
WASHINGTON - Dana Moneter Internasional atau IMF mengungkapkan, ekonomi Uni Eropa (UE) tidak tumbuh secepat yang seharusnya dan produktivitas menjadi masalah di setiap negara anggotanya. Direktur IMF untuk Eropa, Alfred Kammer membagikan prospek ekonomi regional untuk blok tersebut pada pekan ini.
Diproyeksi oleh IMF bahwa Tingkat pertumbuhan PDB Uni Eropa pada tahun ini bakal berada di level 1,1% dan 1,6% pada 2025, atau meningkat 0,6% setahun sebelumnya. Mengomentari laporan tersebut, Kammer menunjuk pada tiga faktor yang menahan laju Uni Eropa.
"Pertama, pasar Eropa terlalu terfragmentasi untuk menyediakan skala yang dibutuhkan bagi perusahaan untuk tumbuh. Kedua, Eropa tidak kekurangan tabungan, tetapi pasar modalnya gagal menyediakan, apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan perusahaan muda dan produktif. Selain itu Eropa kehilangan tenaga kerja terampil di tempat yang dibutuhkan," katanya.
Kammer mengatakan, menghilangkan hambatan yang tersisa terhadap pergerakan bebas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja akan menyelesaikan sebagian besar masalah Uni Eropa.
Pejabat IMF juga menunjuk pada kesenjangan pendapatan per kapita 30% antara Uni Eropa dan AS, yang dia gambarkan sebagai sesuatu yang "menakjubkan." Dan kondisi seperti ini diperkirakan "tetap tidak berubah selama dua dekade sekarang," keluhnya.
Hal ini sebagian disebabkan oleh rendahnya produktivitas di anggota terbaru blok di Eropa Tengah, Timur, dan Tenggara (CESEE). Kramer juga menekankan, dampak dari "guncangan harga energi besar yang diinduksi Rusia yang dialami Eropa," dengan Jerman paling terpengaruh karena manufaktur intensif energinya.
Setelah konflik Ukraina meningkat pada Februari 2022, Uni Eropa menjadikannya prioritas utama untuk berhenti bergantung pada energi Rusia. Sanksi terhadap Moskow dan sabotase pipa Nord Stream pada tahun 2022 telah menyebabkan penurunan besar pasokan gas Rusia ke blok tersebut.
Penolakan Brussels untuk membeli energi Rusia telah menghambat pertumbuhan ekonomi Uni Eropa, seperti diungkapkan oleh Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban pada bulan Oktober. Beberapa negara Uni Eropa lainnya, seperti Hongaria, Austria, Slovakia, Republik Ceko, dan Italia, tercatat masih mengimpor gas pipa Rusia.
IMF baru-baru ini menaikkan perkiraan pertumbuhan 2024 untuk Rusia dari 3,2% menjadi 3,6%. Ini juga menempatkan Rusia sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia berdasarkan paritas daya beli (PPP).
Menurut Kammer, dalam jangka panjang, Rusia harus berurusan dengan transfer teknologi yang lebih sedikit dan melemahnya kemampuan untuk menarik pembiayaan sebagai akibat dari sanksi Barat. Namun Presiden Vladimir Putin mengatakan awal tahun ini bahwa ekonomi Rusia dalam kondisi baik dan berkembang pesat meskipun ada tekanan dari sanksi Barat.
Diproyeksi oleh IMF bahwa Tingkat pertumbuhan PDB Uni Eropa pada tahun ini bakal berada di level 1,1% dan 1,6% pada 2025, atau meningkat 0,6% setahun sebelumnya. Mengomentari laporan tersebut, Kammer menunjuk pada tiga faktor yang menahan laju Uni Eropa.
"Pertama, pasar Eropa terlalu terfragmentasi untuk menyediakan skala yang dibutuhkan bagi perusahaan untuk tumbuh. Kedua, Eropa tidak kekurangan tabungan, tetapi pasar modalnya gagal menyediakan, apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan perusahaan muda dan produktif. Selain itu Eropa kehilangan tenaga kerja terampil di tempat yang dibutuhkan," katanya.
Kammer mengatakan, menghilangkan hambatan yang tersisa terhadap pergerakan bebas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja akan menyelesaikan sebagian besar masalah Uni Eropa.
Pejabat IMF juga menunjuk pada kesenjangan pendapatan per kapita 30% antara Uni Eropa dan AS, yang dia gambarkan sebagai sesuatu yang "menakjubkan." Dan kondisi seperti ini diperkirakan "tetap tidak berubah selama dua dekade sekarang," keluhnya.
Hal ini sebagian disebabkan oleh rendahnya produktivitas di anggota terbaru blok di Eropa Tengah, Timur, dan Tenggara (CESEE). Kramer juga menekankan, dampak dari "guncangan harga energi besar yang diinduksi Rusia yang dialami Eropa," dengan Jerman paling terpengaruh karena manufaktur intensif energinya.
Setelah konflik Ukraina meningkat pada Februari 2022, Uni Eropa menjadikannya prioritas utama untuk berhenti bergantung pada energi Rusia. Sanksi terhadap Moskow dan sabotase pipa Nord Stream pada tahun 2022 telah menyebabkan penurunan besar pasokan gas Rusia ke blok tersebut.
Penolakan Brussels untuk membeli energi Rusia telah menghambat pertumbuhan ekonomi Uni Eropa, seperti diungkapkan oleh Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban pada bulan Oktober. Beberapa negara Uni Eropa lainnya, seperti Hongaria, Austria, Slovakia, Republik Ceko, dan Italia, tercatat masih mengimpor gas pipa Rusia.
IMF baru-baru ini menaikkan perkiraan pertumbuhan 2024 untuk Rusia dari 3,2% menjadi 3,6%. Ini juga menempatkan Rusia sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia berdasarkan paritas daya beli (PPP).
Baca Juga
Menurut Kammer, dalam jangka panjang, Rusia harus berurusan dengan transfer teknologi yang lebih sedikit dan melemahnya kemampuan untuk menarik pembiayaan sebagai akibat dari sanksi Barat. Namun Presiden Vladimir Putin mengatakan awal tahun ini bahwa ekonomi Rusia dalam kondisi baik dan berkembang pesat meskipun ada tekanan dari sanksi Barat.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda