Tarik Ulur Penetapan UMP 2025, Pengamat Wanti-Wanti Potensi Bahayanya
Selasa, 26 November 2024 - 07:27 WIB
JAKARTA - Putusan penetapan upah minimum provinsi (UMP) dinilai harus segera dilaksanakan. Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Efendi menyebutkan, jika penetapan yang direncanakan maksimal sampai akhir tahun ini, tidak terlaksana juga, maka ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi di awal tahun 2025 semakin terlihat.
Tadjudin menjelaskan, penetapan UMP 2025 memang tengah digodok agar melaksanakan saran dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait standar UMP tersebut.
"Karena menurut hemat saya, kenaikan upah minimum memiliki potensi yang cukup besar, untuk meningkatkan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi," ujar Tadjudin dalam tayangan Market Review IDX Channel, Senin (25/11/2024).
"Jadi kalau itu nanti sampai tertunda-tunda, akibatnya potensi besar itu akan hilang," sambung Tadjudin.
Meski tertunda, Tadjudin mengatakan, pemerintah terutama Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) memiliki waktu yang cukup sampai akhir tahun agar merumuskan secara hati-hati.
"Menurut hemat saya itu perlu karena harus menyesuaikan dengan keputusan MK yang berkaitan dengan perhitungan upah minimum. Dan itu harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana," jelas Tadjudin.
Sekbagai informasi, tarik ulurnya penetapan UMP 2025 itu terkait dengan putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materil atas UU Nomor 6 Tahun 2023 dalam penetapan peraturan pemerintah (PP) pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker menjadi UU.
Akan tetapi, Menteri Tenaga Kerja atau Menaker Yassierli menerangkan, penetapan UMP 2025 akan dilakukan maksimal pada Desember 2024. Saat ini Kemnaker masih menggodok rumus perhitungan upah dengan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartite Nasional, yang ditargetkan akan selesai pada minggu ini. Hasil perumusan akan disampaikan pada Presiden Prabowo Subianto.
Sementara MK dalam putusan 31 Oktober 2024 meminta pasal terkait pengupahan harus memenuhi kebutuhan hidup pekerja, buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
MK juga meminta agar struktur dan skala upah harus proporsional, setelah itu akan menghidupkan kembali peran aktif Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dalam penentuan upah minimum serta mengembalikan upah minimum sektoral.
Tadjudin menjelaskan, penetapan UMP 2025 memang tengah digodok agar melaksanakan saran dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait standar UMP tersebut.
Baca Juga
"Karena menurut hemat saya, kenaikan upah minimum memiliki potensi yang cukup besar, untuk meningkatkan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi," ujar Tadjudin dalam tayangan Market Review IDX Channel, Senin (25/11/2024).
"Jadi kalau itu nanti sampai tertunda-tunda, akibatnya potensi besar itu akan hilang," sambung Tadjudin.
Meski tertunda, Tadjudin mengatakan, pemerintah terutama Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) memiliki waktu yang cukup sampai akhir tahun agar merumuskan secara hati-hati.
"Menurut hemat saya itu perlu karena harus menyesuaikan dengan keputusan MK yang berkaitan dengan perhitungan upah minimum. Dan itu harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana," jelas Tadjudin.
Sekbagai informasi, tarik ulurnya penetapan UMP 2025 itu terkait dengan putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materil atas UU Nomor 6 Tahun 2023 dalam penetapan peraturan pemerintah (PP) pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker menjadi UU.
Akan tetapi, Menteri Tenaga Kerja atau Menaker Yassierli menerangkan, penetapan UMP 2025 akan dilakukan maksimal pada Desember 2024. Saat ini Kemnaker masih menggodok rumus perhitungan upah dengan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartite Nasional, yang ditargetkan akan selesai pada minggu ini. Hasil perumusan akan disampaikan pada Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga
Sementara MK dalam putusan 31 Oktober 2024 meminta pasal terkait pengupahan harus memenuhi kebutuhan hidup pekerja, buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
MK juga meminta agar struktur dan skala upah harus proporsional, setelah itu akan menghidupkan kembali peran aktif Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dalam penentuan upah minimum serta mengembalikan upah minimum sektoral.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda