Ekonom: Penyempurnaan Aturan LPS Lebih Penting Daripada Revisi UU BI
Selasa, 01 September 2020 - 15:18 WIB
JAKARTA - Ekonom sekaligus Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai, revisi aturan terkait Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai lebih mendesak untuk dilakukan. Hal itu menyusul adanya revisi Undang-Undang (UU) Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Presiden (Perppu) yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi DPR.
"Menurut saya yang perlu difokuskan saat ini adalah sektor riil. Karena sektor keuangan sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Kalaupun ada peraturan yang perlu diperbaiki, salah satunya LPS," ujar Aviliani dalam sebuah webinar, Selasa (1/9/2020).
(Baca Juga: Bos OJK Tekankan Pentingnya Pengawasan Terintegrasi Sektor Keuangan)
Aviliani menilai, dalam aturan LPS saat ini disebutkan bahwa lembaga tersebut baru dapat melakukan penanganan apabila bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya negara membutuhkan dana tinggi untuk melakukan penanganannya.
Dia juga berpendapat, aturan LPS ini sebaiknya direvisi dengan mencantumkan ketentuan bahwa ketika ada indikasi bank bermasalah, maka lembaga pengawas ini dapat segera bertindak. Mekanismenya, aset yang dinilai masih bagus bisa diserahkan kepada investor sedangkan aset yang buruk diurus oleh LPS.
"Seharusnya keterlibatan LPS bukan hanya pada bank gagal. Kita bisa lihat kemarin ketika ada bank bermasalah, akhirnya LPS di dalam aturannya tidak bisa membantu. Akhirnya OJK yang sibuk mencari bagaimana cara menyelesaikannya," kata dia.
(Baca Juga: Rombak BI, OJK dan LPS Lewat Perppu, Awas Jangan Sewenang-wenang)
Kendati demikian, Alviliani meminta revisi aturan LPS tidak dalam bentuk perppu. Sebab, kata dia, jumlah perpu di Indonesia sudah terlampau banyak yang justru dapat direspons negatif oleh pelaku pasar.
"Terlalu banyak perppu akan memberikan sinyal terkait ketidakstabilan di dalam suatu negara. Seperti yang dialami oleh negara lain seperti Turki yang membuat kekhawatiran di pasar. Jadi perppu tidak menjadi solusi saat ini. Apalagi sektor keuangan kita oke-oke saja," tegasnya.
"Menurut saya yang perlu difokuskan saat ini adalah sektor riil. Karena sektor keuangan sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Kalaupun ada peraturan yang perlu diperbaiki, salah satunya LPS," ujar Aviliani dalam sebuah webinar, Selasa (1/9/2020).
(Baca Juga: Bos OJK Tekankan Pentingnya Pengawasan Terintegrasi Sektor Keuangan)
Aviliani menilai, dalam aturan LPS saat ini disebutkan bahwa lembaga tersebut baru dapat melakukan penanganan apabila bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya negara membutuhkan dana tinggi untuk melakukan penanganannya.
Dia juga berpendapat, aturan LPS ini sebaiknya direvisi dengan mencantumkan ketentuan bahwa ketika ada indikasi bank bermasalah, maka lembaga pengawas ini dapat segera bertindak. Mekanismenya, aset yang dinilai masih bagus bisa diserahkan kepada investor sedangkan aset yang buruk diurus oleh LPS.
"Seharusnya keterlibatan LPS bukan hanya pada bank gagal. Kita bisa lihat kemarin ketika ada bank bermasalah, akhirnya LPS di dalam aturannya tidak bisa membantu. Akhirnya OJK yang sibuk mencari bagaimana cara menyelesaikannya," kata dia.
(Baca Juga: Rombak BI, OJK dan LPS Lewat Perppu, Awas Jangan Sewenang-wenang)
Kendati demikian, Alviliani meminta revisi aturan LPS tidak dalam bentuk perppu. Sebab, kata dia, jumlah perpu di Indonesia sudah terlampau banyak yang justru dapat direspons negatif oleh pelaku pasar.
"Terlalu banyak perppu akan memberikan sinyal terkait ketidakstabilan di dalam suatu negara. Seperti yang dialami oleh negara lain seperti Turki yang membuat kekhawatiran di pasar. Jadi perppu tidak menjadi solusi saat ini. Apalagi sektor keuangan kita oke-oke saja," tegasnya.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda