Guru Besar IPB: Penambahan Lahan Sawit di Kawasan Hutan Terdegradasi Bukan Deforestasi
Sabtu, 11 Januari 2025 - 19:48 WIB
Pada kesempatan tersebut Prof Yanto menyayangkan sikap LSM dan beberapa guru besar yang merespon negatif rencana Presiden Prabowo tersebut. Salah satunya surat terbuka yang ditulis Prof Arya Hadi Dharmawan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo.
"Saya sudah baca surat terbuka dari kolega saya dari IPB tersebut. Beliau memang guru besar di Fakultas FEM (Fakultas Ekonomi dan Manajemen), dulunya Sosek (Sosial Ekonomi Pertanian). Beliau bukan dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB," kata Prof Yanto.
Dalam surat terbuka tersebut, kata Prof Yanto, tidak mengatasnamakan sebagai guru besar, tapi mengatasnamakan warga biasa.
"Memang dari segi pengetahuan keilmuan tidak sama dengan kami yang berasal dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan," katanya.
Namun terkait surat tersebut, kata Prof Yanto, merupakan hak Prof Arya Hadi Dharmawan sebagai warga negara. "Memang kalau orang awam di bidang kehutanan suka salah-salah atau suka rancu antara istilah hutan dengan istilah kawasan hutan. Bagi temen-temen yang tidak memahami ilmu kehutanan kalau mendengar kata-kata hutan maka otomatis pikirannya adalah kata orang Sunda mah leuweung gleudeugan atau bahasa indonesianya hutan alam," katanya.
Sehingga begitu Presiden Prabowo atau Menteri (Kehutanan) akan membuka hutan terbayangnya hutan rimba raya yang akan dibongkar kemudian dijadikan kebun sawit. "Nah ini yang mis understanding di sini," katanya.
Sementara itu, pengamat lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso. Menurutnya, jika pemerintah ingin menambah produksi minyak sawit, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan replanting kebun sawit secara besar-besaran.
Sebab, produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu masih sangat rendah. Data Statistik Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan produktivitas rata-rata perkebunan sawit nasional 3,89 ton CPO/ha/tahun. Produktivitas kebun sawit rakyat sebesar 3,429 ton CPO/ha/tahun, kebun sawit milik negara (PTPN) 4,2 ton, dan swasta mencapai 4,4 ton. "Kita kalah jauh dibandingkan Malaysia," katanya.
Indonesia sebenarnya sudah berusaha melakukan replanting melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Namun realisasinya, Program PSR ini tidak pernah mencapai target seluas 180.000 ha/tahun. Lambannya PSR ini, kata Petrus, mayoritas dipicu oleh persoalan legalitas lahan. Persoalan legalitas ini muncul lantaran Kementerian Kehutanan (Kemenhut) masih mengklaim sekitar 65% wilayah Indonesia adalah kawasan hutan.
"Saya sudah baca surat terbuka dari kolega saya dari IPB tersebut. Beliau memang guru besar di Fakultas FEM (Fakultas Ekonomi dan Manajemen), dulunya Sosek (Sosial Ekonomi Pertanian). Beliau bukan dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB," kata Prof Yanto.
Dalam surat terbuka tersebut, kata Prof Yanto, tidak mengatasnamakan sebagai guru besar, tapi mengatasnamakan warga biasa.
"Memang dari segi pengetahuan keilmuan tidak sama dengan kami yang berasal dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan," katanya.
Namun terkait surat tersebut, kata Prof Yanto, merupakan hak Prof Arya Hadi Dharmawan sebagai warga negara. "Memang kalau orang awam di bidang kehutanan suka salah-salah atau suka rancu antara istilah hutan dengan istilah kawasan hutan. Bagi temen-temen yang tidak memahami ilmu kehutanan kalau mendengar kata-kata hutan maka otomatis pikirannya adalah kata orang Sunda mah leuweung gleudeugan atau bahasa indonesianya hutan alam," katanya.
Sehingga begitu Presiden Prabowo atau Menteri (Kehutanan) akan membuka hutan terbayangnya hutan rimba raya yang akan dibongkar kemudian dijadikan kebun sawit. "Nah ini yang mis understanding di sini," katanya.
Sementara itu, pengamat lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso. Menurutnya, jika pemerintah ingin menambah produksi minyak sawit, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan replanting kebun sawit secara besar-besaran.
Sebab, produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu masih sangat rendah. Data Statistik Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan produktivitas rata-rata perkebunan sawit nasional 3,89 ton CPO/ha/tahun. Produktivitas kebun sawit rakyat sebesar 3,429 ton CPO/ha/tahun, kebun sawit milik negara (PTPN) 4,2 ton, dan swasta mencapai 4,4 ton. "Kita kalah jauh dibandingkan Malaysia," katanya.
Indonesia sebenarnya sudah berusaha melakukan replanting melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Namun realisasinya, Program PSR ini tidak pernah mencapai target seluas 180.000 ha/tahun. Lambannya PSR ini, kata Petrus, mayoritas dipicu oleh persoalan legalitas lahan. Persoalan legalitas ini muncul lantaran Kementerian Kehutanan (Kemenhut) masih mengklaim sekitar 65% wilayah Indonesia adalah kawasan hutan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda