Ancaman Resesi, RI Harus Gerak Cepat Tangkap Peluang Investasi
Selasa, 06 Oktober 2020 - 06:35 WIB
JAKARTA - Pengujung kuartal III/2020, perekonomian Indonesia tak kunjung menunjukkan angin segar. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan optimismenya terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Dalam acara Launching Pengembangan Potensi Santripreneur Berbasis UMKM Sawit sebagai Program Pemberdayaan Ekonomi Daerah secara virtual, baru-baru ini, Sri Mulyani mengutarakan keyakinannya terhadap ekonomi hingga akhir tahun 2020. (Baca: Hidayah Adalah Mengetahui Kebenaran)
“Kalau kita lihat pada kuartal kedua perekonomian mengalami kontraksi 5,3%. Kita sudah mulai menunjukkan pemulihan pada kuartal ketiga, dan kita berharap pemulihan ini bisa kita jaga sehingga Indonesia bisa melewati zona kontraksi, sekaligus melewati dan menangani Covid-19 itu sendiri,” kata Sri Mulyani.
Kondisi pelemahan ekonomi ini membawa Indonesia di ambang masa resesi. Ancaman ini tentu berdampak pada multisektoral, seperti melemahnya daya beli masyarakat hingga tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Menanggapi kondisi ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terus mendorong perbaikan iklim investasi di tengah pandemi Covid-19. Investasi diharapkan mampu menyelamatkan Indonesia saat pertumbuhan ekonominya mengalami resesi. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
“Di tengah perekonomian yang melambat ini, investasi diharapkan akan jadi motor penggerak utama dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, BKPM akan terus bekerja keras dalam menarik investasi masuk ke Indonesia,” kata Plt Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan saat market sounding proyek Tol Gilimanuk–Mengwi dan Jembatan CH, baru-baru ini.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, dibutuhkan energi besar untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke kisaran 5%. Jika vaksin Covid-19 belum ada dan belum didistribusikan merata, kata Tauhid, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun depan terbilang berat.
Saat ini saja, kata dia, ekonomi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal itu terlihat dari indeks harga konsumen (IHK) yang belakangan mengalami deflasi menandakan lemahnya permintaan. Jika konsumsi masyarakat pada tahun depan masih lemah, sulit bagi Indonesia untuk mengakselerasi ekonomi tumbuh 5%. (Baca juga: Fadli Zon Ajak Presiden Jokowi Merenung)
Maklum, selama ini konsumsi masyarakat menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ekspor impor juga sulit diharapkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena kondisi ekonomi global yang masih suram.
Dalam acara Launching Pengembangan Potensi Santripreneur Berbasis UMKM Sawit sebagai Program Pemberdayaan Ekonomi Daerah secara virtual, baru-baru ini, Sri Mulyani mengutarakan keyakinannya terhadap ekonomi hingga akhir tahun 2020. (Baca: Hidayah Adalah Mengetahui Kebenaran)
“Kalau kita lihat pada kuartal kedua perekonomian mengalami kontraksi 5,3%. Kita sudah mulai menunjukkan pemulihan pada kuartal ketiga, dan kita berharap pemulihan ini bisa kita jaga sehingga Indonesia bisa melewati zona kontraksi, sekaligus melewati dan menangani Covid-19 itu sendiri,” kata Sri Mulyani.
Kondisi pelemahan ekonomi ini membawa Indonesia di ambang masa resesi. Ancaman ini tentu berdampak pada multisektoral, seperti melemahnya daya beli masyarakat hingga tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Menanggapi kondisi ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terus mendorong perbaikan iklim investasi di tengah pandemi Covid-19. Investasi diharapkan mampu menyelamatkan Indonesia saat pertumbuhan ekonominya mengalami resesi. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
“Di tengah perekonomian yang melambat ini, investasi diharapkan akan jadi motor penggerak utama dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, BKPM akan terus bekerja keras dalam menarik investasi masuk ke Indonesia,” kata Plt Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan saat market sounding proyek Tol Gilimanuk–Mengwi dan Jembatan CH, baru-baru ini.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, dibutuhkan energi besar untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke kisaran 5%. Jika vaksin Covid-19 belum ada dan belum didistribusikan merata, kata Tauhid, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun depan terbilang berat.
Saat ini saja, kata dia, ekonomi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal itu terlihat dari indeks harga konsumen (IHK) yang belakangan mengalami deflasi menandakan lemahnya permintaan. Jika konsumsi masyarakat pada tahun depan masih lemah, sulit bagi Indonesia untuk mengakselerasi ekonomi tumbuh 5%. (Baca juga: Fadli Zon Ajak Presiden Jokowi Merenung)
Maklum, selama ini konsumsi masyarakat menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ekspor impor juga sulit diharapkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena kondisi ekonomi global yang masih suram.
Lihat Juga :
tulis komentar anda