Usulan HJE 100%, Akal-akalan Produsen AS Kurangi Persaingan?
Kamis, 08 Oktober 2020 - 00:29 WIB
Ketua Gapero (Gabungan Perusahaan Rokok) Surabaya Sulami Bahar, menilai kebijakan HJE 85% ini sudah tepat dan tidak perlu lagi diubah-ubah. Menurut Sulami, tidak ada perusahaan rokok yang bisa menetapkan harga jual ke konsumen hingga 100% dari HJE mempertimbangkan kenaikan cukai tinggi di tahun 2020. “Perusahaan rokok besar saja banyak yang menetapkan harga 85%,” katanya.
Penetapan HJE 85% ini, dalam pandangan Sulami, tidak akan membuat Negara rugi. “Yang ada malah pengusaha yang memperoleh beban tambahan karena mereka membayar cukai secara penuh namun menjual produk mereka 85% dari HJE (lebih rendah),” katanya.
Kalau ada pihak yang mendorong penetapan HJE 100%, menurut Sulami, kemungkinan besar berkaitan dengan kemampuan pihak tersebut dalam mempertahankan pangsa pasarnya. “Dia tidak mau kehilangan pasar, sekaligus berupaya untuk mengurangi persaingan dengan merek lain,” katanya.
Menurut Dr. Satriya Wibawa, peneliti Universitas Padjajaran, ketentuan floor price tadi bersifat non budgeter, yang berkaitan dengan urusan pengendalian. Cukai, lanjut Satriya, memiliki dua sifat yakni, non budgeter dan budgeter (berkaitan dengan besarnya penerimaan negara). Apabila floor price tadi ditiadakan (dibuat 100%), maka dampaknya akan dirasakan oleh petani dan tentu saja industri.
Serapan tembakau petani akan berkurang dan industri akan memutar otak untuk menghasilkan produk yang mampu diserap pasar. Karena yang mampu bertahan adalah produsen yang memiliki kemampuan keuangan yang besar, Satriya mewanti-wanti timbulnya kemungkinan hanya akan ada satu pemain saja nantinya. “Jelas akan tercipta (pasar yang) monopolistis, bahkan sebetulnya saat ini oligopoli sudah terjadi,” katanya.
Sementara itu, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan penjualan dengan harga minimum 85% dari harga jual eceran (HJE) secara nasional, tidak hanya pada 50% dari wilayah pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Hal ini yang disampaikan oleh Heri Susianto, Ketua Harian Formasi, beberapa waktu lalu. Tujuannya, lanjut Heri, untuk memberikan keadilan yang jauh lebih merata antara perusahaan rokok skala besar dengan usaha sejenis berskala menengah dan kecil. Lima tahun lalu, lanjut Heri, tidak ada aturan untuk menjual 85% dari HJE. "Dengan kata lain perusahaan rokok bebas menjual dengan harga berapa pun, bahkan bisa jauh di bawah 85%," jelasnya.
Akibatnya, usaha rokok besar menekan pasar IHT yang diproduksi usaha kecil. Hal itu terjadi karena selisih harga tidak terpaut begitu jauh. Agar lebih berkeadilan, Formasi mengusulkan agar ketentuan perusahaan rokok harus menjual IHT minimum 85% itu berlaku nasional. Saat ini berlaku Perdirjen 37/BC/2017, dimana perusahaan rokok berpeluang menjual rokok di bawah 85% di daerah-daerah di luar 40% dari wilayah kerja pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Efektifitas usulan tadi, lanjut Heri, membutuhkan pengawasan di lapangan. Karena itulah, KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) perlu turun ke lapangan agar perusahaan rokok besar benar-benar menaati ketentuan tersebut. Dengan cara seperti itu, maka pasar IHT bisa berjalan adil karena tidak ada lagi hanya beberapa perusahaan rokok yang mengusai pasar rokok nasional. Bisa dihindari adanya praktik oligopoli karena hanya dikuasai beberapa merek saja.
“Kami sudah berkali-kali meminta agar KPPU mengawasi masalah harga rokok yang cenderung mematikan perusahaan kecil karena selisihnya tidak lebar, namun sampai saat ini belum juga direspons,” ucapnya. Belum lagi, sambungnya, banyak perusahaan besar yang menjual produknya dengan di bawah harga banderol (dumping). “Ada banyak perusahaan yang menjual dumping dan tidak etis kalau saya mengungkapkan hal ini,” katanya.
Penetapan HJE 85% ini, dalam pandangan Sulami, tidak akan membuat Negara rugi. “Yang ada malah pengusaha yang memperoleh beban tambahan karena mereka membayar cukai secara penuh namun menjual produk mereka 85% dari HJE (lebih rendah),” katanya.
Kalau ada pihak yang mendorong penetapan HJE 100%, menurut Sulami, kemungkinan besar berkaitan dengan kemampuan pihak tersebut dalam mempertahankan pangsa pasarnya. “Dia tidak mau kehilangan pasar, sekaligus berupaya untuk mengurangi persaingan dengan merek lain,” katanya.
Menurut Dr. Satriya Wibawa, peneliti Universitas Padjajaran, ketentuan floor price tadi bersifat non budgeter, yang berkaitan dengan urusan pengendalian. Cukai, lanjut Satriya, memiliki dua sifat yakni, non budgeter dan budgeter (berkaitan dengan besarnya penerimaan negara). Apabila floor price tadi ditiadakan (dibuat 100%), maka dampaknya akan dirasakan oleh petani dan tentu saja industri.
Serapan tembakau petani akan berkurang dan industri akan memutar otak untuk menghasilkan produk yang mampu diserap pasar. Karena yang mampu bertahan adalah produsen yang memiliki kemampuan keuangan yang besar, Satriya mewanti-wanti timbulnya kemungkinan hanya akan ada satu pemain saja nantinya. “Jelas akan tercipta (pasar yang) monopolistis, bahkan sebetulnya saat ini oligopoli sudah terjadi,” katanya.
Sementara itu, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan penjualan dengan harga minimum 85% dari harga jual eceran (HJE) secara nasional, tidak hanya pada 50% dari wilayah pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Hal ini yang disampaikan oleh Heri Susianto, Ketua Harian Formasi, beberapa waktu lalu. Tujuannya, lanjut Heri, untuk memberikan keadilan yang jauh lebih merata antara perusahaan rokok skala besar dengan usaha sejenis berskala menengah dan kecil. Lima tahun lalu, lanjut Heri, tidak ada aturan untuk menjual 85% dari HJE. "Dengan kata lain perusahaan rokok bebas menjual dengan harga berapa pun, bahkan bisa jauh di bawah 85%," jelasnya.
Akibatnya, usaha rokok besar menekan pasar IHT yang diproduksi usaha kecil. Hal itu terjadi karena selisih harga tidak terpaut begitu jauh. Agar lebih berkeadilan, Formasi mengusulkan agar ketentuan perusahaan rokok harus menjual IHT minimum 85% itu berlaku nasional. Saat ini berlaku Perdirjen 37/BC/2017, dimana perusahaan rokok berpeluang menjual rokok di bawah 85% di daerah-daerah di luar 40% dari wilayah kerja pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Efektifitas usulan tadi, lanjut Heri, membutuhkan pengawasan di lapangan. Karena itulah, KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) perlu turun ke lapangan agar perusahaan rokok besar benar-benar menaati ketentuan tersebut. Dengan cara seperti itu, maka pasar IHT bisa berjalan adil karena tidak ada lagi hanya beberapa perusahaan rokok yang mengusai pasar rokok nasional. Bisa dihindari adanya praktik oligopoli karena hanya dikuasai beberapa merek saja.
“Kami sudah berkali-kali meminta agar KPPU mengawasi masalah harga rokok yang cenderung mematikan perusahaan kecil karena selisihnya tidak lebar, namun sampai saat ini belum juga direspons,” ucapnya. Belum lagi, sambungnya, banyak perusahaan besar yang menjual produknya dengan di bawah harga banderol (dumping). “Ada banyak perusahaan yang menjual dumping dan tidak etis kalau saya mengungkapkan hal ini,” katanya.
tulis komentar anda