Bahaya! Penggunaan Bensin Oktan Rendah Perparah Pasien Covid-19
Rabu, 14 Oktober 2020 - 12:23 WIB
JAKARTA - Pengunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan kualitas oktan rendah ternyata berdampak buruk terhadap pasien Covid-19 . Pasalnya penggunaan bensin berkualitas rendah berakibat pada memburuknya kualitas udara.
Hal itu didasarkan pada hasil penelitian Departemen Biostatistik Harvard, T.H. Chan School of Public Health berjudul Exposure to air pollution and Covid-19 mortality in the United States yang tulis Xiao Wu dan dipublikasikan New England Journal of Medicine, menyebut, tingkat polusi udara tinggi sebelum pandemi, berdampak buruk ke pasien bahkan lebih parah bisa mengalami kematian.
Disebutkan dalam riset, pasien yang mengalami paparan jangka panjang PM2.5, 15% lebih mungkin mengalami kematian akibat Corona dibanding mereka yang hidup di suatu daerah dengan kualitas udara lebih baik.Menurut WHO dan penelitian pasien SARS-Cov-1 pada 2003 menemukan pasien yang tinggal di lingkungan dengan polusi udara tinggi dua kali lebih mungkin meninggal dibandingkan dengan mereka yang memiliki kualitas udara baik. Bahkan, di daerah tingkat pencemaran sedang, risiko kematian mereka 84% lebih tinggi.
Di Indonesia sendiri, Badan Tenaga Nuklir Nasional atau Batan dalam penelitian soal polusi udara telah mengambil sampel beberapa kota, seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Dari belasan kota yang diteliti itu, Batan mencatat bahwa konsentrasi timbal Pb tertinggi ada di Surabaya, Tangerang dan Jakarta. Kandungan timbal Pb dari polusi udara di ketiga daerah itu tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Padahal, berbagai riset lembaga internasional menunjukkan bahwa polutan timbal (Pb) bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan manusia saja, tapi juga dapat mempengaruhi kecerdasan anak-anak. Peneliti Senior Batan Muhayatun Susanto mengatakan, selama ini pemantauan kualitas udara biasanya dilakukan terhadap CO, SO2, Nox, O3 dan PM10 (partikulat yang berukuran kurang dari 10 mikrometer) sebagai dasar untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Padahal di udara juga terdapat partikulat yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer, yang dikenal dengan PM-2,5.
Polutan partikulat PM-2,5 dinilai lebih berbahaya karena ukurannya yang kecil sehingga mampu menembus bagian terdalam dari paru-paru. Sebagai ilustrasi, ukuran PM-2,5 sebanding dengan sekitar 1/30 dari diameter rambut manusia yang pada umumnya berukuran 50-70 mikrometer. Sedangkan PM-10 sebanding dengan 1/7 dari diameter rambut.
Salah satu parameter penting yang menjadi fokus riset Batan adalah pemantauan pencemaran logam berat, khususnya Timbal (Pb) pada PM-2,5. Logam Pb yang terdapat di udara jika terhisap dan terakumulasi hingga 10 ug/dL pada seorang anak, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia, learning disability, mengalami gejala anemia, hambatan dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif buruk, sistem kekebalan tubuh yang lemah dan gejala autis. Karena itu, salah satu rekomendasi dari hasil penelitian Batan adalah pentingnya penggunaan BBM tanpa timbal Pb. Program pemerintah penggunaan bensin tanpa timbal yang diberlakukan sejak Juli 2006 sangat baik bagi lingkungan.
Menurut Muhayatun, program bensin tanpa timbal berdampak signifikan terhadap menurunnya rerata konsentrasi logam timbal di Kota Bandung. Sayangnya, hasil ini tidak diikuti oleh kota lainnya di Indonesia karena kadar logam berat Pb pada PM-2,5 dan PM-10 di beberapa kota masih relatif tinggi. Konsentrasi Pb di lokasi sampling Tangerang, Jakarta dan Surabaya lebih tinggi ketimbang kota lainnya.
Wahana Lingkungan Hidup juga mendesak, pemerintah daerah menjalankan aturan Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama dalam hal melakukan pencegahan kerusakan lingkungan hidup, antara lain lalai dalam melakukan inventarisasi sumber pencemar, pemantauan kualitas udara, pengujian emisi gas buang dan lalai dalam penataan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak.
Hal itu didasarkan pada hasil penelitian Departemen Biostatistik Harvard, T.H. Chan School of Public Health berjudul Exposure to air pollution and Covid-19 mortality in the United States yang tulis Xiao Wu dan dipublikasikan New England Journal of Medicine, menyebut, tingkat polusi udara tinggi sebelum pandemi, berdampak buruk ke pasien bahkan lebih parah bisa mengalami kematian.
Disebutkan dalam riset, pasien yang mengalami paparan jangka panjang PM2.5, 15% lebih mungkin mengalami kematian akibat Corona dibanding mereka yang hidup di suatu daerah dengan kualitas udara lebih baik.Menurut WHO dan penelitian pasien SARS-Cov-1 pada 2003 menemukan pasien yang tinggal di lingkungan dengan polusi udara tinggi dua kali lebih mungkin meninggal dibandingkan dengan mereka yang memiliki kualitas udara baik. Bahkan, di daerah tingkat pencemaran sedang, risiko kematian mereka 84% lebih tinggi.
Di Indonesia sendiri, Badan Tenaga Nuklir Nasional atau Batan dalam penelitian soal polusi udara telah mengambil sampel beberapa kota, seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Dari belasan kota yang diteliti itu, Batan mencatat bahwa konsentrasi timbal Pb tertinggi ada di Surabaya, Tangerang dan Jakarta. Kandungan timbal Pb dari polusi udara di ketiga daerah itu tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Padahal, berbagai riset lembaga internasional menunjukkan bahwa polutan timbal (Pb) bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan manusia saja, tapi juga dapat mempengaruhi kecerdasan anak-anak. Peneliti Senior Batan Muhayatun Susanto mengatakan, selama ini pemantauan kualitas udara biasanya dilakukan terhadap CO, SO2, Nox, O3 dan PM10 (partikulat yang berukuran kurang dari 10 mikrometer) sebagai dasar untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Padahal di udara juga terdapat partikulat yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer, yang dikenal dengan PM-2,5.
Polutan partikulat PM-2,5 dinilai lebih berbahaya karena ukurannya yang kecil sehingga mampu menembus bagian terdalam dari paru-paru. Sebagai ilustrasi, ukuran PM-2,5 sebanding dengan sekitar 1/30 dari diameter rambut manusia yang pada umumnya berukuran 50-70 mikrometer. Sedangkan PM-10 sebanding dengan 1/7 dari diameter rambut.
Salah satu parameter penting yang menjadi fokus riset Batan adalah pemantauan pencemaran logam berat, khususnya Timbal (Pb) pada PM-2,5. Logam Pb yang terdapat di udara jika terhisap dan terakumulasi hingga 10 ug/dL pada seorang anak, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia, learning disability, mengalami gejala anemia, hambatan dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif buruk, sistem kekebalan tubuh yang lemah dan gejala autis. Karena itu, salah satu rekomendasi dari hasil penelitian Batan adalah pentingnya penggunaan BBM tanpa timbal Pb. Program pemerintah penggunaan bensin tanpa timbal yang diberlakukan sejak Juli 2006 sangat baik bagi lingkungan.
Menurut Muhayatun, program bensin tanpa timbal berdampak signifikan terhadap menurunnya rerata konsentrasi logam timbal di Kota Bandung. Sayangnya, hasil ini tidak diikuti oleh kota lainnya di Indonesia karena kadar logam berat Pb pada PM-2,5 dan PM-10 di beberapa kota masih relatif tinggi. Konsentrasi Pb di lokasi sampling Tangerang, Jakarta dan Surabaya lebih tinggi ketimbang kota lainnya.
Wahana Lingkungan Hidup juga mendesak, pemerintah daerah menjalankan aturan Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama dalam hal melakukan pencegahan kerusakan lingkungan hidup, antara lain lalai dalam melakukan inventarisasi sumber pencemar, pemantauan kualitas udara, pengujian emisi gas buang dan lalai dalam penataan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak.
(nng)
tulis komentar anda