Setahun Jokowi-Ma'ruf, Surplus Neraca Dagang hingga Inflasi Rendah Jadi Catatan
Selasa, 20 Oktober 2020 - 12:52 WIB
JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa hal di bidang ekonomi selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang telah menjabat selama satu tahun. Pertama, neraca dagang mengalami surplus dalam 5 bulan berturut-turut (Mei-September 2020).
(Baca Juga: Kalo Resesi Kegagalan 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf, Maka 95% Negara di Dunia Sama )
Menurutnya surplus neraca dagang tersebut semu, karena merupakan indikasi buruk bagi ekonomi karena lebih disebabkan oleh total impor yang terkontraksi -18,1%. Secara spesifik impor bahan baku dan barang modal yang paling menurun karena industri manufaktur alami tekanan. Impor barang konsumsi juga tertekan sebesar -9,3% dari awal tahun hingga September.
"Jadi kinerja perdagangan masih perlu dikritisi karena ekspor mengalami penurunan -5,81% sepanjang Januari-September 2020," kata Bhima kepada SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Kemudian Ia, juga memperhatikan inflasi terlalu rendah karena tekanan daya beli masyarakat. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86% per September 2020.
Inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. "Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah, maka produsen akan alami kerugian bahkan terancam berhenti beroperasi," terangnya.
(Baca Juga: Laporan Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Dari Merombak Anggaran hingga Berburu Vaksin )
Selain itu, Ia juga menilai, reformasi struktural ekonomi terhambat oleh upaya Pemerintah dan DPR untuk mempercepat revisi UU Minerba. Janji meningkatkan industri manufaktur dan nilai tambah hanya retorika, karena investasi masih berkutat di sektor SDA yang ekstraktif.
"Buktinya kontribusi industri manufaktur terus alami penurunan hingga mencapai 19,8% terhadap PDB konsisten menurun dari tahun sebelumnya. Ini menandakan fase deindustrialisasi dini terus berlanjut di era Presiden Jokowi-Maa’ruf Amin. Komitmen industrialisasi dipertanyakan," ungkapnya.
Ia menambahkan, PMI manufaktur saat ini mengalami penurunan menjadi 44.9 per kuartal ke III 2020. PMI yang berada di bawah angka 50 menunjukkan produksi manufaktur sedang mengalami penurunan atau tidak berada di level ekspansi.
(Baca Juga: Kalo Resesi Kegagalan 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf, Maka 95% Negara di Dunia Sama )
Menurutnya surplus neraca dagang tersebut semu, karena merupakan indikasi buruk bagi ekonomi karena lebih disebabkan oleh total impor yang terkontraksi -18,1%. Secara spesifik impor bahan baku dan barang modal yang paling menurun karena industri manufaktur alami tekanan. Impor barang konsumsi juga tertekan sebesar -9,3% dari awal tahun hingga September.
"Jadi kinerja perdagangan masih perlu dikritisi karena ekspor mengalami penurunan -5,81% sepanjang Januari-September 2020," kata Bhima kepada SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Kemudian Ia, juga memperhatikan inflasi terlalu rendah karena tekanan daya beli masyarakat. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86% per September 2020.
Inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. "Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah, maka produsen akan alami kerugian bahkan terancam berhenti beroperasi," terangnya.
(Baca Juga: Laporan Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Dari Merombak Anggaran hingga Berburu Vaksin )
Selain itu, Ia juga menilai, reformasi struktural ekonomi terhambat oleh upaya Pemerintah dan DPR untuk mempercepat revisi UU Minerba. Janji meningkatkan industri manufaktur dan nilai tambah hanya retorika, karena investasi masih berkutat di sektor SDA yang ekstraktif.
"Buktinya kontribusi industri manufaktur terus alami penurunan hingga mencapai 19,8% terhadap PDB konsisten menurun dari tahun sebelumnya. Ini menandakan fase deindustrialisasi dini terus berlanjut di era Presiden Jokowi-Maa’ruf Amin. Komitmen industrialisasi dipertanyakan," ungkapnya.
Ia menambahkan, PMI manufaktur saat ini mengalami penurunan menjadi 44.9 per kuartal ke III 2020. PMI yang berada di bawah angka 50 menunjukkan produksi manufaktur sedang mengalami penurunan atau tidak berada di level ekspansi.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda