China Serukan Revolusi Hijau, Pengusaha Batubara RI Siap-siap Mlongo!
Selasa, 27 Oktober 2020 - 14:01 WIB
JAKARTA - Melalui Sidang Umum PBB, Presiden China Xi Jinping menyerukan 'Revolusi Hijau' mengajak dunia bahwa pandemi global ini sebagai momentum bersama-sama serius mengatasi emisi gas rumah kaca. Pemerintah China berkomitmen untuk menghentikan kontribusi besarnya terhadap emisi global pada 2060 mendatang. Berdasarkan riset global, China melepaskan setara dengan 10 miliar ton CO2 ke atmosfer pada 2018 lalu.
Hal itu disambut gembira sebagai sinyal penting yang menunjukkan perubahan iklim adalah agenda utama bagi China. Apalagi China saat ini masih terus bergantung pada batu bara. Komitmen tersebut akan menjadi tantangan besar bagi China untuk mengubah batubara menjadi energi ramah lingkungan. Tentu dengan revolusi tersebut berdampak besar pada merosotnya kegiatan eskpor batubara RI ke China.
Sementara, RI juga belum siap meninggalkan batubara dalam memenuhi pembangkit listrik untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah membeberkan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT di RI. Selain harga yang cukup mahal, EBT sektor pasar yang menyerap energi tersebut. Pemerintah harus bisa memberikan kepastian agar EBT ini diserap oleh pasar, sehingga energi alternatif ini dapat berkembang.
"Selain memberikan insentif fiskal, pemerintah harus bisa memberikan kepastian pasar pada energi ini" kata Rusli, dalam Market Review IDX Channel, Selasa (27/10/2020).
Rusli melanjutkan, pemerintah juga harus mendorong masyarakat agar menggunakan energi terbarukan atau energi lainnya yang bukan berasal dari minyak/fosil. Misalnya, saja mendorong kendaraan pribadi menggunakan bahan bakar gas, seperti kendaraan umum. "Pemerintah bisa memberikan insentif bagi kendaran pribadi yang menggunakan bahan bakar gas," terangnya.
Ia menambahkan, Pemerintah juga harus membeli sumber EBT ini agar berkembang. Contohnya saja melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan mengganti sumber tenaga listriknya. "Sumber pembangkit tenaga listrik masih banyak menggunakan batu bara, ini bisa diganti dengan EBT, misalnya saja dengan menggunakan tenaga angin atau panas bumi" tandasnya.
Hal itu disambut gembira sebagai sinyal penting yang menunjukkan perubahan iklim adalah agenda utama bagi China. Apalagi China saat ini masih terus bergantung pada batu bara. Komitmen tersebut akan menjadi tantangan besar bagi China untuk mengubah batubara menjadi energi ramah lingkungan. Tentu dengan revolusi tersebut berdampak besar pada merosotnya kegiatan eskpor batubara RI ke China.
Sementara, RI juga belum siap meninggalkan batubara dalam memenuhi pembangkit listrik untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah membeberkan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT di RI. Selain harga yang cukup mahal, EBT sektor pasar yang menyerap energi tersebut. Pemerintah harus bisa memberikan kepastian agar EBT ini diserap oleh pasar, sehingga energi alternatif ini dapat berkembang.
"Selain memberikan insentif fiskal, pemerintah harus bisa memberikan kepastian pasar pada energi ini" kata Rusli, dalam Market Review IDX Channel, Selasa (27/10/2020).
Rusli melanjutkan, pemerintah juga harus mendorong masyarakat agar menggunakan energi terbarukan atau energi lainnya yang bukan berasal dari minyak/fosil. Misalnya, saja mendorong kendaraan pribadi menggunakan bahan bakar gas, seperti kendaraan umum. "Pemerintah bisa memberikan insentif bagi kendaran pribadi yang menggunakan bahan bakar gas," terangnya.
Ia menambahkan, Pemerintah juga harus membeli sumber EBT ini agar berkembang. Contohnya saja melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan mengganti sumber tenaga listriknya. "Sumber pembangkit tenaga listrik masih banyak menggunakan batu bara, ini bisa diganti dengan EBT, misalnya saja dengan menggunakan tenaga angin atau panas bumi" tandasnya.
(nng)
tulis komentar anda