Ajang Balas Dendam Belanja?
Rabu, 11 November 2020 - 05:55 WIB
Tang Chenghui, misalnya, teknisi listrik di Beijing, menganggap Singles'Day sebagai kesempatan untuk memborong makanan dan produk impor seperti susu dari Australia. Dia juga sudah memesan 3 kardus telor bebek, 10 susu bubuk kedelai, 2 kardus yogurt. “Saya membeli lebih banyak makanan ringan karena saya baru pindah ke apartemen baru dan ingin menyimpan makanan yang saya sukai,” kata Tang.
Harbolnas
Indonesia juga memiliki momen serupa, yakni Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 11.11. Agenda yang sudah dimulai sejak 12 Desember 2012 ini diprakarsai 6 e-commerce besar Indonesia. Mereka adalah Lazada Indonesia, Zalora, Blanja, PinkEmma, Berrybenka, dan Bukalapak. Kini sistem belanja online tersebut semakin berkembang dan terbukti pesertanya mencapai lebih dari 250 platform belanja daring.
Kehadiran Harbolnas kali ini diharapkan menjadi momentum untuk memacu konsumsi, terutama dari kalangan menengah ke atas. Hal ini diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harapan ini di antaranya disampaikan pengamat ekonomi Bhima Yudhistira dan peneliti Indef Nailul Huda. (Baca juga: Kemenangan Belum Disahkan, Joe Biden Akan Tempuh Langkah Hukum)
Bhima menyebut Harbolnas penting untuk mendorong belanja kelas menengah dan atas di tengah perubahan prilaku konsumen untuk lebih banyak konsumsi barang secara online. Berdasar data Wearesopcial, pandemi membuat pertumbuhan e-commerce di Indonesia meningkat hingga 31%. "Tapi ada yang menjadi catatan, untuk kelas menengah ke bawah daya beli masih rendah sehingga kemampuan beli barang secara online meskipun ada diskon tidak setinggi tahun lalu," katanya kemarin.
Dia memaparkan, pelaku e-commerce di Tanah Air masih harus bekerja keras agar bisa mendapat tempat di masyarakat. Mengapa demikian? Bhima membeberkan, share dari e-commerce terhadap total ritel, meskipun naik, baru di angka 5%. Artinya masyarakat masih dominan belanja di pasar tradisional, supermarket, dan minimarket.
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah penting adalah rendahnya keterlibatan UMKM karena baru 13% UMKM yang bergabung ke platform digital. "Sisanya masih andalkan cara-cara pemasaran konvensional. E-commerce juga masih didominasi barang impor sehingga dampak ke ekonomi nasional masih terbatas," sebut Bhima.
Nailul Huda juga mendorong kelas menengah untuk bisa memanfaatkan pesta belanja online ini demi menggenjot konsumsinya. Namun hal ini juga tidak mudah karena masyarakat kelas menengah pun menahan konsumsinya di tengah resesi. (Lihat videonya: Waspada, Angka Kejahatan Selama Pandemi Naik)
Menurut dia, masyarakat kelas menengah ke atas lebih memilih menyimpan uangnya untuk dana kesehatan di mana konsumsi untuk kesehatan di triwulan III kemarin tumbuh positif. Dengan demikian daya beli masyarakat belum membaik pada triwulan IV 2020 meskipun ada kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan III 2020.
"Biasanya memang triwulan IV konsumsi masyarakat lebih baik karena ada bonus tahunan dan Natal, namun tidak akan setinggi konsumsi triwulan IV tahun lalu," katanya. (Andika H Mustaqim/Kunthi Fahmar Sandy)
Harbolnas
Indonesia juga memiliki momen serupa, yakni Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 11.11. Agenda yang sudah dimulai sejak 12 Desember 2012 ini diprakarsai 6 e-commerce besar Indonesia. Mereka adalah Lazada Indonesia, Zalora, Blanja, PinkEmma, Berrybenka, dan Bukalapak. Kini sistem belanja online tersebut semakin berkembang dan terbukti pesertanya mencapai lebih dari 250 platform belanja daring.
Kehadiran Harbolnas kali ini diharapkan menjadi momentum untuk memacu konsumsi, terutama dari kalangan menengah ke atas. Hal ini diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harapan ini di antaranya disampaikan pengamat ekonomi Bhima Yudhistira dan peneliti Indef Nailul Huda. (Baca juga: Kemenangan Belum Disahkan, Joe Biden Akan Tempuh Langkah Hukum)
Bhima menyebut Harbolnas penting untuk mendorong belanja kelas menengah dan atas di tengah perubahan prilaku konsumen untuk lebih banyak konsumsi barang secara online. Berdasar data Wearesopcial, pandemi membuat pertumbuhan e-commerce di Indonesia meningkat hingga 31%. "Tapi ada yang menjadi catatan, untuk kelas menengah ke bawah daya beli masih rendah sehingga kemampuan beli barang secara online meskipun ada diskon tidak setinggi tahun lalu," katanya kemarin.
Dia memaparkan, pelaku e-commerce di Tanah Air masih harus bekerja keras agar bisa mendapat tempat di masyarakat. Mengapa demikian? Bhima membeberkan, share dari e-commerce terhadap total ritel, meskipun naik, baru di angka 5%. Artinya masyarakat masih dominan belanja di pasar tradisional, supermarket, dan minimarket.
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah penting adalah rendahnya keterlibatan UMKM karena baru 13% UMKM yang bergabung ke platform digital. "Sisanya masih andalkan cara-cara pemasaran konvensional. E-commerce juga masih didominasi barang impor sehingga dampak ke ekonomi nasional masih terbatas," sebut Bhima.
Nailul Huda juga mendorong kelas menengah untuk bisa memanfaatkan pesta belanja online ini demi menggenjot konsumsinya. Namun hal ini juga tidak mudah karena masyarakat kelas menengah pun menahan konsumsinya di tengah resesi. (Lihat videonya: Waspada, Angka Kejahatan Selama Pandemi Naik)
Menurut dia, masyarakat kelas menengah ke atas lebih memilih menyimpan uangnya untuk dana kesehatan di mana konsumsi untuk kesehatan di triwulan III kemarin tumbuh positif. Dengan demikian daya beli masyarakat belum membaik pada triwulan IV 2020 meskipun ada kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan III 2020.
"Biasanya memang triwulan IV konsumsi masyarakat lebih baik karena ada bonus tahunan dan Natal, namun tidak akan setinggi konsumsi triwulan IV tahun lalu," katanya. (Andika H Mustaqim/Kunthi Fahmar Sandy)
Lihat Juga :
tulis komentar anda