Awas! Ikut Perdagangan Bebas ASEAN, Indonesia Harus Hati-Hati
Minggu, 15 November 2020 - 22:46 WIB
JAKARTA -
Ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN bersama lima negara Asia yakni Jepang, China , Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru pada Minggu (15/11/2020) menjadi peluang bagi Indonesia meningkatkan perdagangan. Namun, skema perdagangan bebas tersebut juga berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar karena besarnya jumlah penduduk di Tanah Air.
(Baca juga: Jokowi Dorong ASEAN Gaet Jepang dalam Pemulihan Ekonomi Kawasan )
Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengingatkan pemerintah untuk hati-hati dalam melangkah seiring dengan kesepakatan RCEP. Apalagi lima negara di luar ASEAN merupakan raksasa ekonomi dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kesepakatan itu, kata dia, seperti dua sisi mata pisau yang bisa menguntungkan dan merugikan, Indonesia.
“Kalau kita tidak hati-hati, bisa dijadikan pasar oleh mereka. Karena itu, regulasinya harus dibuat secara ketat. Misalnya, pengurangan impor itu itemnya apa saja. Itu harus diatur dan lebih detail. Kedua, tingkat kompetisi bisa bersaing dalam pasar tadi. Kalau produk kita tidak punya keungulan kompetitif, sekali kita akan menjadi pasar karena produk kita tidak laku,” ujar dia saat dihubungi SINDO Media, Minggu (15/11/2020).
(Baca juga: Siapkah Kita Menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN Plus? )
Dia menambahkan, Pemerintah harus segera memikirkan strategi dan langkah konkret dalam menghadapi RCEP. Indonesia memiliki kelemahan dalam menciptakan suatu produk. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengekspor barang mentah. Seharusnya, kata dia, industri dalam negeri didorong untuk mengolah bahan-bahan mentah sehingga, minimal yang diekspor sudah barang setengah jadi atau jadi.
Marwan meminta kementerian dan lembaga terkait dengan kesepakatan ini untuk membuat iklim usaha Indonesia menjadi kompetitif. Hal itu bertujuan untuk menarik investasi. Indonesia harus bersaing dengan negara ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand. Marwan pun menyoroti pemerintah yang begitu optimistis bahwa kesepakatan ini akan menguntungkan Indonesia.
Ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN bersama lima negara Asia yakni Jepang, China , Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru pada Minggu (15/11/2020) menjadi peluang bagi Indonesia meningkatkan perdagangan. Namun, skema perdagangan bebas tersebut juga berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar karena besarnya jumlah penduduk di Tanah Air.
(Baca juga: Jokowi Dorong ASEAN Gaet Jepang dalam Pemulihan Ekonomi Kawasan )
Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengingatkan pemerintah untuk hati-hati dalam melangkah seiring dengan kesepakatan RCEP. Apalagi lima negara di luar ASEAN merupakan raksasa ekonomi dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kesepakatan itu, kata dia, seperti dua sisi mata pisau yang bisa menguntungkan dan merugikan, Indonesia.
“Kalau kita tidak hati-hati, bisa dijadikan pasar oleh mereka. Karena itu, regulasinya harus dibuat secara ketat. Misalnya, pengurangan impor itu itemnya apa saja. Itu harus diatur dan lebih detail. Kedua, tingkat kompetisi bisa bersaing dalam pasar tadi. Kalau produk kita tidak punya keungulan kompetitif, sekali kita akan menjadi pasar karena produk kita tidak laku,” ujar dia saat dihubungi SINDO Media, Minggu (15/11/2020).
(Baca juga: Siapkah Kita Menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN Plus? )
Dia menambahkan, Pemerintah harus segera memikirkan strategi dan langkah konkret dalam menghadapi RCEP. Indonesia memiliki kelemahan dalam menciptakan suatu produk. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengekspor barang mentah. Seharusnya, kata dia, industri dalam negeri didorong untuk mengolah bahan-bahan mentah sehingga, minimal yang diekspor sudah barang setengah jadi atau jadi.
Marwan meminta kementerian dan lembaga terkait dengan kesepakatan ini untuk membuat iklim usaha Indonesia menjadi kompetitif. Hal itu bertujuan untuk menarik investasi. Indonesia harus bersaing dengan negara ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand. Marwan pun menyoroti pemerintah yang begitu optimistis bahwa kesepakatan ini akan menguntungkan Indonesia.
(ynt)
tulis komentar anda