Siapkah Kita Menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN Plus?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jika tidak ada aral melintang, akhir pekan ini sebuah kesepakatan perdagangan yang melibatkan negara-negara ASEAN akan resmi diluncurkan. Kesepakatan ini disebut-sebut salah satu yang terbesar di dunia karena selain negara-negara ASEAN, sejumlah mitra dagang seperti China, Jepang, Korea Selatan dan Australia dan Selandia Baru juga akan bergabung.
Mengutip BBC, dengan disepakatinya perjanjian perdagangan ASEAN Plus tersebut, maka populasi yang ada dalam aliansi ini mencapai 29%, dari total produk domestik bruto (PDB) dunia. Zona perdagangan bebas yang disebut Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) itu pun akan lebih besar dibanding perjanjian dagang yang melibatkan Amerika Serikat (AS)-Meksiko-Kanada serta Uni Eropa.
(Baca juga: Teken Perdagangan Bebas dengan 15 Negara, Mendag Janji RI Tak Kebanjiran Barang Impor)
Laman resmi situs Setkab.go.id menyebutkan, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN Plus itu diperkirakan bakal diteken di sela-sela konferensi ASEAN yang digelar secara virtual sejak Kamis (12/11/2020). Sekadar diketahui, negara-negara ASEAN terdiri atas Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
India yang sempat menjadi bagian dari negosiasi kesepatan dagang menarik diri karena kekhawatiran akan tarif yang lebih rendah dan dapat merugikan produsen lokal. Adapun China, Jepang, dan Korea Selatan, kemungkinan tetap karena untuk mengimbangi pengaruh AS di wilayah pasifik yang sempat mempelopori Trans-Pacific Partnership (TPP) sebelum akhirnya dibekukan oleh Presiden Donald Trump.
(Baca juga: Trump Akan Fokus Bisnis)
Lalu, sebenarnya apakah kelebihan dari RCEP ini? Tentu saja, tujuan utamanya adalah untuk mengairahkan iklim perdagangan antar-kawasan sehingga perekonomian bisa sama-sama tumbuh. Namun, secara lebih spesifik dalam perjanjian ini antara lain akan disepakati pembebasan sejumlah tarif impor yang berlaku dalam 20 tahun ke depan.
Tak hanya itu, perjanjian tersebut juga mencakup ketentuan tentang kekayaan intelektual, telekomunikasi, layanan keuangan, e-commerce, dan layanan profesional lainnya.
Dengan luasnya cakupan perjanjian tersebut, menarik ditunggu bagaimana kesiapan Indonesia untuk berkiprah di perdagangan lintas negara. Jangan sampai kesepakatan ini justru menjadi karpet merah untuk masuknya produk impor dengan harga murah, sehingga menekan produksi dalam negeri. Selain itu, yang tak boleh dilupakan adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal untuk bersaing, dan jangan sampai justru SDM asing yang menyerbu negeri ini tanpa repatriasi yang seimbang.
Mengutip BBC, dengan disepakatinya perjanjian perdagangan ASEAN Plus tersebut, maka populasi yang ada dalam aliansi ini mencapai 29%, dari total produk domestik bruto (PDB) dunia. Zona perdagangan bebas yang disebut Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) itu pun akan lebih besar dibanding perjanjian dagang yang melibatkan Amerika Serikat (AS)-Meksiko-Kanada serta Uni Eropa.
(Baca juga: Teken Perdagangan Bebas dengan 15 Negara, Mendag Janji RI Tak Kebanjiran Barang Impor)
Laman resmi situs Setkab.go.id menyebutkan, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN Plus itu diperkirakan bakal diteken di sela-sela konferensi ASEAN yang digelar secara virtual sejak Kamis (12/11/2020). Sekadar diketahui, negara-negara ASEAN terdiri atas Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
India yang sempat menjadi bagian dari negosiasi kesepatan dagang menarik diri karena kekhawatiran akan tarif yang lebih rendah dan dapat merugikan produsen lokal. Adapun China, Jepang, dan Korea Selatan, kemungkinan tetap karena untuk mengimbangi pengaruh AS di wilayah pasifik yang sempat mempelopori Trans-Pacific Partnership (TPP) sebelum akhirnya dibekukan oleh Presiden Donald Trump.
(Baca juga: Trump Akan Fokus Bisnis)
Lalu, sebenarnya apakah kelebihan dari RCEP ini? Tentu saja, tujuan utamanya adalah untuk mengairahkan iklim perdagangan antar-kawasan sehingga perekonomian bisa sama-sama tumbuh. Namun, secara lebih spesifik dalam perjanjian ini antara lain akan disepakati pembebasan sejumlah tarif impor yang berlaku dalam 20 tahun ke depan.
Tak hanya itu, perjanjian tersebut juga mencakup ketentuan tentang kekayaan intelektual, telekomunikasi, layanan keuangan, e-commerce, dan layanan profesional lainnya.
Dengan luasnya cakupan perjanjian tersebut, menarik ditunggu bagaimana kesiapan Indonesia untuk berkiprah di perdagangan lintas negara. Jangan sampai kesepakatan ini justru menjadi karpet merah untuk masuknya produk impor dengan harga murah, sehingga menekan produksi dalam negeri. Selain itu, yang tak boleh dilupakan adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal untuk bersaing, dan jangan sampai justru SDM asing yang menyerbu negeri ini tanpa repatriasi yang seimbang.
(ynt)