Awas, Pemerintah Jangan Dikelabui Importer Berkedok Pelaku Industri
Rabu, 18 November 2020 - 14:43 WIB
(Baca juga:Pengusaha Sebut Larangan Minuman Beralkohol Bikin Industri Wisata Tambah Susah)
Pemerintah harus menerima masukan tersebut dengan melihat sampai sejauhmana permintaan para importir atas nama industri benar adanya. Benarkah mereka memiliki produk dalam industri dengan tingkat impor bahan baku dan bahan penolong atau hanya industri terbungkus “kosmetik” yang sebenarnya hanya produsen produk impor terurai (CKD) berstempel SNI legal.
Jika kenyataannya hanya industri stempel alias atas nama merek tertentu sebaiknya dikaji uang, karena dalam jangka pendek, menengah, apalagi panjang akan merugikan Indonesia. Pemerintah tidak akan pernah memiliki industri dengan struktur yang kuat, tidak memiliki sumber daya yang berkualitas dan kreatif jelang industri 4.0, tidak terjadi transfer teknologi, dan menguras devisa.
(Baca juga:Potensi Capai USD1.338 Miliar, Industri Perikanan Belum Maksimal)
Peluang pasar dalam negeri, termasuk pasar pemerintah melalui pengadaan barang negara tetap hanya milik produk impor. Industri di dalam negeri kehilangan daya saing dan kekuatan ekonomi yang dimarginalkan oleh negara. Keinginan Presiden dalam periode kedua pasca pembangunan infrastruktur yang berhasil menggairahkan bisnis, dan pembangunan industri yang kuat dan merata akan sia-sia.
Peluang untuk melakukan substitusi impor berbagai produk manufaktur termasuk industri pengolahan makanan untuk mendapatkan nilai tambah sulit dilakukan “Sampai kapanpun Indonesia akan mengalami ketergantungan impor yang makin dalam, baik bahan baku, sumber daya manusia, teknologi, dan desain semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan gap defisit neraca perdagangan terus melebar dan kemajuannya tertinggal dari negara pesaing Vietnam, Filipina, dan mungkin Laos dan Kamboja,” tegas Heru.
Pemerintah harus menerima masukan tersebut dengan melihat sampai sejauhmana permintaan para importir atas nama industri benar adanya. Benarkah mereka memiliki produk dalam industri dengan tingkat impor bahan baku dan bahan penolong atau hanya industri terbungkus “kosmetik” yang sebenarnya hanya produsen produk impor terurai (CKD) berstempel SNI legal.
Jika kenyataannya hanya industri stempel alias atas nama merek tertentu sebaiknya dikaji uang, karena dalam jangka pendek, menengah, apalagi panjang akan merugikan Indonesia. Pemerintah tidak akan pernah memiliki industri dengan struktur yang kuat, tidak memiliki sumber daya yang berkualitas dan kreatif jelang industri 4.0, tidak terjadi transfer teknologi, dan menguras devisa.
(Baca juga:Potensi Capai USD1.338 Miliar, Industri Perikanan Belum Maksimal)
Peluang pasar dalam negeri, termasuk pasar pemerintah melalui pengadaan barang negara tetap hanya milik produk impor. Industri di dalam negeri kehilangan daya saing dan kekuatan ekonomi yang dimarginalkan oleh negara. Keinginan Presiden dalam periode kedua pasca pembangunan infrastruktur yang berhasil menggairahkan bisnis, dan pembangunan industri yang kuat dan merata akan sia-sia.
Peluang untuk melakukan substitusi impor berbagai produk manufaktur termasuk industri pengolahan makanan untuk mendapatkan nilai tambah sulit dilakukan “Sampai kapanpun Indonesia akan mengalami ketergantungan impor yang makin dalam, baik bahan baku, sumber daya manusia, teknologi, dan desain semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan gap defisit neraca perdagangan terus melebar dan kemajuannya tertinggal dari negara pesaing Vietnam, Filipina, dan mungkin Laos dan Kamboja,” tegas Heru.
(dar)
tulis komentar anda