Dari Hobi Jadi Lahan Bisnis Menguntungkan

Sabtu, 02 Januari 2021 - 12:14 WIB
Di luar negeri, fenomena jastip ini sebenarnya sudah lama hadir dan lebih dikenal dengan istilah personal shopper. "Dulu pelaku jastip atau personal shopper sering berbelanja atas permintaan kalangan elit atau sosialita yang ingin mendatangkan barang langka atau edisi terbatas tanpa harus merepotkan diri," ungkap pengamat gaya hidup ‎Fira Basuki.

Di Amerika Serikat, personal shopper bahkan bekerja untuk ritel busana high end, seperti Saks Fifth Avenue dan Neiman Marcus. "Di luar negeri profesi ini tidak sembarangan, mereka harus memenuhi syarat khusus seperti memiliki kemampuan berkomunikasi aktif, dan bisa menjalin relasi baik oleh setiap klien," jelas Fira.

Seiring meningkatnya jasa personal shopper, profesi ini mulai menjadi pekerjaan resmi dan digaji mulai dari USD2.000 atau setara Rp28,2 juta per bulan. "Bisnis ini banyak diminati para penggila belanja di Indonesia, sehingga menjadi tren bisnis baru. Namun, yang membedakan profesi jastip di sini masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan," lanjutnya.

‎Di Indonesia, bisnis ini sudah mulai banyak dilirik. Masyarakat sudah banyak yang percaya dengan barang-barang yang dibeli para jastip. Tapi, sebenarnya tetap harus ada prosedur yang dilakukan agar pihak konumen tidak merasa dirugikan.

Menurut peneliti Yayasan Lembaga Konumen Indonesia (YLKI), Natalya Kurniawati, penggunaan jastip di Indonesia termasuk banyak. Mereka juga sudah mulai mempercayai jastip, terbukti sampai saat ini belum ada aduan dari konsumen tentang kerugian berbelanja melalui jastip. Namun, tetap saja harus ada peraturan khusus yang bisa mengawasi bisnis ini.

"Tren bisnis jastip tampaknya masih cukup tinggi. Konsumen yang berbelanja melalui jasa ini pun masih relatif aman belum ada aduan. Tapi kami melihat, fenomena bisnis ini bisa menjadi potensi masalah baru yang harus cepat ditangani dan diatur oleh pemerintah," ungkapnya.

Hal ini diperlukan karena setiap barang yang dibeli melalui jastip biasanya berasal dari luar negeri. Pastinya, semua itu harus ada pengecekan lebih ketat supaya konsumen tetap terlindungi. Meski tidak ada pengaduan tentang kerugian konsumen, menurut Natalya, tetap harus ada prosedur.

"Walaupun ada pembinaan dari Bea Cukai, tapi tetap saja akan ada potensi pelanggaran hak konsumen. Perlindungan konsumen bisa terancam karena kita tidak bisa menjamin apakah barang tersebut aman bagi konsumen," pungkasnya.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkue) telah menerbitkan regulasi untuk impor barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK)188/PMK.04/2010. Kemenkeu mengeluarkan peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh pertumbuhan penumpang pesawat yang cukup signifikan. Peraturan itu menjelaskan batas pembebasan bea masuk barang pribadi naik US500 per orang.

Hal ini ditegaskan pengamat perpajakan Roni Bako. Menurutnya, dalam otoritas perpajakan, fenomena bisnis jastip tidak dikenal, tetapi usaha ini tetap sah-sah saja selama tidak melebihi batas nominal barang bawaan yang telah ditetapkan pemerintah sebesar USD500 atau sekitar Rp7 juta. Angka tersebut merupakan barang-barang yang hanya untuk konsumsi pribadi, bukan untuk dijual. ‎Jika barangnya berupa elektornik, dibatasi hanya 2 unit dan untuk garmen diperbolehkan membawa maksimal 10 potong. Jika bawaan melebihi dari jumlah tersebut akan dikenakan biaya masuk sebesar selisih harga barang, ditambah dengan PPN dan PPH.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More