Abai dengan Kedelai, Sampai Kapan?

Senin, 04 Januari 2021 - 06:29 WIB
Akibat kenaikan harga kedelai, tahu dan tempe menjadi langka. Para perajin mogok produksi. FOTO/KORAN SINDO
JAKARTA - Tiga hari terus gagal mendapatkan tempe membuat Yanti,41, sangat resah. Ibu rumah tangga yang tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan ini pun sudah bolak balik ke pasar dan sejumlah penjual sayur keliling. Namun tempe yang dia inginkan tetap saja tak didapat.

Yanti begitu gelisah lantaran tempe telah menjadi lauk andalan tiap hari di rumahnya. Karena itulah, selama ini dirinya tiap hari harus berbelanja tempe minimal satu batang. "Suami saya kalau makan tak bisa lepas dari tempe, maka dia minta dibelikan tiap hari," ujarnya, Minggu (3/1/2021).

Kepusingan serupa juga diungkapkan Ina,38, perempuan yang tinggal di Kota Solo. Kemarin, Ina kaget karena tidak bisa membeli tempe dan tahu dengan jumlah yang dia inginkan. Penyebabnya, penjual tahu dan tempe membawa dagangan sangat terbatas sebagai dampak naiknya harga kedelai yang sangat tajam. ( )



Dalam beberapa pekan terakhir, tempe dan tahu memang menjadi barang sangat mahal. Melonjaknya harga makanan khas Indonesia ini dipicu kenaikan harga kedelai impor yang menjadi bahan baku utamanya. Di pasaran, harga kedelai impor melambung menjadi Rp9.000/kilogram dari kondisi normal di kisaran Rp6.800-7.000/kilogram.

Kondisi ini membuat para perajin tempe tak berdaya. Puncaknya, perajin yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) memutuskan mogok produksi sejak Jumat (1/1) lalu hingga kemarin. Atas keputusan Gakoptindo ini, pemerintah pun tak bisa berbuat banyak. Kementerian Perdagangan (Kemendag) berdalih, naiknya kedelai diakibatkan lonjakan permintaan dari China kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Dengan gambaran ini, sampai kapan harga kedelai akan kembali ke normal, Kemendag pun belum bisa memastikan.

Di tengah besarnya ketergantungan Indonesia atas kedelai impor ini membuat banyak kalangan mendesak agar Indonesia saatnya berbenah. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan, Indonesia adalah negara pertanian. Dengan fakta ini dia yakin kedelai jenis apapun bisa ditanam dan tumbuh di Tanah Air. Bahkan puluhan tahun lalu Indonesia pernah swasembada kedelai. Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam melakukan riset dan pengembangan produk pertanian, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Kita mempunyai universitas pertanian yang mumpuni, kenapa tidak mengembangkan kedelai untuk kebutuhan pokok. (Apakah) Kita enggak malu punya puluhan fakultas pertanian yang top-top, tapi tidak mampu memasok kedelai untuk rakyatnya," jelasnya. ( )

Menurut Tulus, sebenarnya mudah mengendalikan harga kedelai agar tidak sampai terjadi gejolak seperti ini. Cara efektif menekan harga itu adalah dengan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dari impor. "Kalau impor pasti begitu, ada gejolak harga, dollar naik, dan negara yang bersangkutan gagal panen pasti terjadi distorsi terhadap pasokan dan harga," tuturnya.

Solusi yang bisa ditempuh terhadap masalah ini adalah dengan mengembangkan kedelai lokal dan mencari alternatif negara lain sebagai sumber impor. Dia juga curiga, impor kedelai sengaja dipertahankan karena ada kepentingan dari mafia-mafia. "Sehingga pemerintah, di satu sisi malas mengembangkan kedelai lokal dan tergantung impor," tandasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More