Ketergantungan Kedelai Impor Bikin Produsen Tahu Tempe Gempor, Ini Saran Analis

Minggu, 03 Januari 2021 - 10:01 WIB
loading...
Ketergantungan Kedelai...
Sekitar 5.000 pelaku UKM yang tergabung dalam Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia DKI Jakarta menghentikan sementara proses produksi pada 1-3 Januari 2021. Foto/Arif Julianto
A A A
JAKARTA - Harga kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe dalam beberapa hari terakhir mengalami kenaikan cukup signifikan sehingga menyebabkan produsen tahu dan tempe melakukan mogok produksi.

Direktur Riset dan Program Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Surya Vandiantara mengatakan, kekhawatiran para produsen tahu dan tempe ini cukup beralasan, mengingat di tengah turunnya tingkat konsumsi masyarakat yang diakibatkan dampak pandemi Covid-19, harga kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe justru mengalami kenaikan.

"Apabila para produsen makanan olahan kedelai menaikkan harga jual mengikuti kenaikan bahan baku, maka akan berdampak pada omzet penjualan harian yang menurun, mengingat kemampuan daya beli masyarakat saat ini masih terdampak pandemi Covid-19," ujar Surya kepada SINDOnews, Minggu (3/1/2020).

( )

Surya menilai, kenaikan harga kedelai internasional disebabkan oleh lonjakan permintaan kedelai oleh China, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan penurunan ketersediaan kedelai di pasar internasional.

"Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat bergantung pada impor kedelai tentunya langsung merasakan dampak kenaikan harga kedelai internasional ini," katanya.

Dia menuturkan, berdasarkan data laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) impor kedelai Indonesia mencapai 2.670.086 ton pada tahun 2019, naik 84.277 ton dari tahun 2018 sebanyak 2.585.809 ton.

( )

Menurut dia, besaran angka impor kedelai tersebut di satu sisi menunjukkan betapa Indonesia sangat bergantung pada impor kedelai guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di lain pihak, besaran angka impor tersebut menjadi potensi yang menunjukkan bahwa ada kebutuhan kedelai di pasar dalam negeri yang mencapai hingga 2,6 juta ton setiap tahunnya.

Maka itu, Analis ekonomi-politik dari UIN Jakarta ini menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian pertanian (Kementan) seharusnya mampu menangkap potensi pasar ini.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2437 seconds (0.1#10.140)