Simak! Begini Cara ESDM Bikin Anoda Baterai dari Batu Bara
Senin, 11 Januari 2021 - 19:44 WIB
JAKARTA - Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) Badan Litbang Kementerian ESDM menginisiasi penelitian anoda baterai dari bahan batu bara dengan mengkonversi batu bara menjadi bahan baku pitch bernilai tinggi. Penelitian yang dilaksanakan Kelompok Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batu Bara ini bertujuan mendukung program hilirisasi batu bara menjadi bahan baku grafit sintetik yang bernilai tinggi. Kegiatan difokuskan pada pembuatan prekursor karbon dari residu distilasi ter batubara sebagai material penyimpanan energi.
Koordinator KP3 Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara, Slamet Handoko menjelaskan, grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai yang umum digunakan pada baterai peralatan elektronik seperti baterai telepon genggam, laptop dan kendaraan listrik. Material ini berkinerja tinggi dan memiliki kapasitas pengisian cepat dan umur yang panjang.
Menurut dia, saat ini sekitar 83% pasokan grafit alam dunia berasal dari China dan Brasil. Namun tidak semua grafit alam dapat digunakan sebagai anoda baterai, karena alasan kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya. Grafit sintetik memiliki kemurnian dan ukuran kristal yang homogen.
"Sayangnya biaya proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih mahal, mencapai 10 kali biaya pengolahan grafit alam. Walaupun harga grafit sintetik melangit, proporsi pemakaian grafit sintetik sebagai anoda baterai tidak berkurang. Untuk menekan biaya produksi, biasanya grafit sintetik dicampur dengan grafit alam olahan (spherical graphite)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/1/2021).
Dia melanjutkan, per tahun 2014 proporsi grafit sintetik mencapai 33%-40% dan diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan baterai mobil listrik. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, permintaan grafit alam diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 154%.
"Ini menempatkan grafit sebagai bahan galian paling diburu ke depannya. Oleh karena itu penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan, apalagi Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis," jelas Slamet.
Batu bara peringkat rendah di Indonesia sangat berlimpah dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pembuatan anoda baterai. Ketua Tim Penelitian, Phiciato memaparkan proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi atau batubara, harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000 - 3.000C. Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan bantuan katalis, suhu proses dapat diturunkan hingga mendekati 1.000C. Hasil pengamatan dengan X-Ray Diffraction menunjukkan grafit sintetik dapat terbentuk pada suhu 1.200?C dengan bantuan katalis berbasis Fe (Ferrum).
"Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yaitu efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini tim peneliti masih berfokus pada pembuatan mesophase dan ke depan akan mengembangkan katalis yang cocok dan ekonomis," ujar Phiciato.
Peneliti Muda Puslitbang Tekmira ini menguraikan, pada prinsipnya grafit sintetik dapat disintesa dari segala jenis material karbon seperti biomassa, jelaga, arang dan limbah industri, asalkan memiliki media katalis yang cocok dan jaminan ketersedian pasokan. Jika dibandingkan dengan biomassa, kandungan karbon tetap (fixed-carbon) pada batubara rata-rata 2-3 kali biomassa. "Hal ini yang mendasari pemilihan batubara dan turunannya sebagai prekursor karbon yang ekonomis. Semakin tinggi kandungan karbon tentu berdampak pada semakin baiknya keekonomian proses grafitisasi," tuturnya.
Koordinator KP3 Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara, Slamet Handoko menjelaskan, grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai yang umum digunakan pada baterai peralatan elektronik seperti baterai telepon genggam, laptop dan kendaraan listrik. Material ini berkinerja tinggi dan memiliki kapasitas pengisian cepat dan umur yang panjang.
Menurut dia, saat ini sekitar 83% pasokan grafit alam dunia berasal dari China dan Brasil. Namun tidak semua grafit alam dapat digunakan sebagai anoda baterai, karena alasan kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya. Grafit sintetik memiliki kemurnian dan ukuran kristal yang homogen.
"Sayangnya biaya proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih mahal, mencapai 10 kali biaya pengolahan grafit alam. Walaupun harga grafit sintetik melangit, proporsi pemakaian grafit sintetik sebagai anoda baterai tidak berkurang. Untuk menekan biaya produksi, biasanya grafit sintetik dicampur dengan grafit alam olahan (spherical graphite)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/1/2021).
Dia melanjutkan, per tahun 2014 proporsi grafit sintetik mencapai 33%-40% dan diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan baterai mobil listrik. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, permintaan grafit alam diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 154%.
"Ini menempatkan grafit sebagai bahan galian paling diburu ke depannya. Oleh karena itu penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan, apalagi Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis," jelas Slamet.
Batu bara peringkat rendah di Indonesia sangat berlimpah dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pembuatan anoda baterai. Ketua Tim Penelitian, Phiciato memaparkan proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi atau batubara, harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000 - 3.000C. Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan bantuan katalis, suhu proses dapat diturunkan hingga mendekati 1.000C. Hasil pengamatan dengan X-Ray Diffraction menunjukkan grafit sintetik dapat terbentuk pada suhu 1.200?C dengan bantuan katalis berbasis Fe (Ferrum).
"Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yaitu efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini tim peneliti masih berfokus pada pembuatan mesophase dan ke depan akan mengembangkan katalis yang cocok dan ekonomis," ujar Phiciato.
Peneliti Muda Puslitbang Tekmira ini menguraikan, pada prinsipnya grafit sintetik dapat disintesa dari segala jenis material karbon seperti biomassa, jelaga, arang dan limbah industri, asalkan memiliki media katalis yang cocok dan jaminan ketersedian pasokan. Jika dibandingkan dengan biomassa, kandungan karbon tetap (fixed-carbon) pada batubara rata-rata 2-3 kali biomassa. "Hal ini yang mendasari pemilihan batubara dan turunannya sebagai prekursor karbon yang ekonomis. Semakin tinggi kandungan karbon tentu berdampak pada semakin baiknya keekonomian proses grafitisasi," tuturnya.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda