Waspada! Utang Pemerintah Capai Rp5.910,1 Triliun, Perhatikan 5 Hal Ini
Selasa, 12 Januari 2021 - 15:52 WIB
Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif. Porsi beban bunga utang dan pembayaran cicilan pokok telah mencapai 16% dari total belanja negara, dan dipastikan angkanya akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah utang.
"Selain jumlahnya yang semakin besar beban bunga utang dalam belanja pemerintah pusat telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif," imbuhnya.
(Baca Juga: Canda Ala Sufi: Memberikan Uang Bukan Karena Utang, tetapi Karena Janji )
Ketiga, kata dia, biaya utang yang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal, untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72% atau lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang hanya 0,03%, Cina 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.
Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 yang menyatakan bahwa strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer.
Keempat, sambungnya, porsi kepemilikan asing dalam SBN pun semakin besar. Sepanjang tahun 2020 rata-rata kepemilikan asing dalam SBN telah mencapai 30%. Semakin dominannnya asing dalam kepemilikan SBN tidak hanya berdampak positif bagi sumber pebiayaan pemerintah, namun menjadi ancaman stabilitas nilai tukar rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal.
Kelima, dia menjelaskan, peningkatan jumlah utang BUMN dan potensi gagal bayar. Data statstik utang publik menunjukan bahwa sampai dengan kuartal III tahun 2020 jumlah utang BUMN telah mencapai Rp5.966 triliun.
Besaran utang BUMN ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengantisipasi potensi terjadinya gagal bayar dikarenakan menurunnya kinerja operasional BUMN akibat pandemi Covid-19.
Jika dicermati komposisi utang BUMN didominasi sektor keuangan sebesar 80% dan 20% sektor non keuangan dan berkaca dari pengalaman krisis tahun 1997, pemerintah melakukan aksi penyelamatan sektor perbankan dengan melakukan bailout dengan pemberian BLBI, yang sampai saat ini masih menjadi beban APBN.
"Meskipun saat ini pemerintah telah mempunyai serangkaian aturan dan perangkat penyelesaian masalah disektor keuangan, namun tetap saja APBN akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian utang BUMN jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar," bebernya.
"Selain jumlahnya yang semakin besar beban bunga utang dalam belanja pemerintah pusat telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif," imbuhnya.
(Baca Juga: Canda Ala Sufi: Memberikan Uang Bukan Karena Utang, tetapi Karena Janji )
Ketiga, kata dia, biaya utang yang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal, untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72% atau lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang hanya 0,03%, Cina 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.
Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 yang menyatakan bahwa strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer.
Keempat, sambungnya, porsi kepemilikan asing dalam SBN pun semakin besar. Sepanjang tahun 2020 rata-rata kepemilikan asing dalam SBN telah mencapai 30%. Semakin dominannnya asing dalam kepemilikan SBN tidak hanya berdampak positif bagi sumber pebiayaan pemerintah, namun menjadi ancaman stabilitas nilai tukar rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal.
Kelima, dia menjelaskan, peningkatan jumlah utang BUMN dan potensi gagal bayar. Data statstik utang publik menunjukan bahwa sampai dengan kuartal III tahun 2020 jumlah utang BUMN telah mencapai Rp5.966 triliun.
Besaran utang BUMN ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengantisipasi potensi terjadinya gagal bayar dikarenakan menurunnya kinerja operasional BUMN akibat pandemi Covid-19.
Jika dicermati komposisi utang BUMN didominasi sektor keuangan sebesar 80% dan 20% sektor non keuangan dan berkaca dari pengalaman krisis tahun 1997, pemerintah melakukan aksi penyelamatan sektor perbankan dengan melakukan bailout dengan pemberian BLBI, yang sampai saat ini masih menjadi beban APBN.
"Meskipun saat ini pemerintah telah mempunyai serangkaian aturan dan perangkat penyelesaian masalah disektor keuangan, namun tetap saja APBN akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian utang BUMN jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar," bebernya.
tulis komentar anda