Memanfaatkan Rezim Suku Bunga Rendah
Selasa, 09 Februari 2021 - 05:50 WIB
Shinta menambahkan, beberapa negara seperti Thailand, sebelum terjadi pandemi sudah memberikan kredit korporasi dengan bunga 4% per tahun. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman korporasi riil di Indonesia yang sebelum pandemi rata-rata ada di level 10-12%.
“Sepanjang pandemi suku bunga memang turun tetapi sangat tipis meskipun suku bunga acuan turun 100 bps sepanjang pandemi,? ungkapnya.
Saat ini kata dia, suku bunga pinjaman usaha riil di Indonesia yang paling murah masih sebesar 9%. Bahkan, ada bank yang mengenakan bunga 11% per tahun.
Dia berharap, idealnya suku bunga pinjaman riil Indonesia harus turun lebih signifikan dibanding saat ini. Bahkan, akan sangat baik bila bisa turun ke rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN agar daya saing di kawasan bisa lebih baik.
“Ini bisa dilakukan tanpa menurunkan suku bunga BI lebih lanjut, apalagi sampai nol. Tidak perlu. Kita bukan AS, Jepang, atau negara maju lain yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah mature dan dana publik di sektor perbankannya sudah sangat besar sehingga bisa menanggung kerugian tersebut,” katanya.
Yang perlu dilakukan, kata Shinta, adalah pembenahan efisiensi di sektor perbankan. Khususnya dengan mengkoreksi BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yang terlalu tinggi sehingga tidak menjadi beban pada perhitungan suku bunga pinjaman riil bagi pelaku usaha.
Selain itu, bank yang memiliki likuiditas tinggi perlu didorong untuk memberikan pinjaman kepada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. “Banyak bank yang tidak mau menanggung risiko peningkatan NPL. Ini harus dipikirkan agar stimulus moneter Indonesia bisa lebih efektif ntk mendongkrak kegiatan ekonomi nasional di masa mendatang,” pungkasnya.
Pengamat ekonomi dari Intitute for Development of economic and finance (Indef) Rizal Taufikurohman melihat bahwa penetapan suku bunga acuan rendah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dinilai sudah tepat, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang terus mengalami penurunan.
"Sudah tepat, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menurun. Indonesia mengalami resesi, untuk itu perlu diambil kebijakan yang dapat mendorong investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa semakin positif," katanya.
Hanya saja, Rizal menambahkan, kebijakan tersebut harus dilihat efektivitasnya karena hal ini akan mendorong perbaikan investasi, kemudian perbaikan konsumsi tapi nyatanya hal tersebut masih belum mendorong peningkatan laju pasar investasi. Di 2020, uata dia, laju investasi mengalami penurunan di angka minus 4,5%. Untuk itu, kebijakan menurunkan suku bunga harus bersinergi dengan kebijakan fiskal.
“Sepanjang pandemi suku bunga memang turun tetapi sangat tipis meskipun suku bunga acuan turun 100 bps sepanjang pandemi,? ungkapnya.
Saat ini kata dia, suku bunga pinjaman usaha riil di Indonesia yang paling murah masih sebesar 9%. Bahkan, ada bank yang mengenakan bunga 11% per tahun.
Dia berharap, idealnya suku bunga pinjaman riil Indonesia harus turun lebih signifikan dibanding saat ini. Bahkan, akan sangat baik bila bisa turun ke rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN agar daya saing di kawasan bisa lebih baik.
“Ini bisa dilakukan tanpa menurunkan suku bunga BI lebih lanjut, apalagi sampai nol. Tidak perlu. Kita bukan AS, Jepang, atau negara maju lain yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah mature dan dana publik di sektor perbankannya sudah sangat besar sehingga bisa menanggung kerugian tersebut,” katanya.
Yang perlu dilakukan, kata Shinta, adalah pembenahan efisiensi di sektor perbankan. Khususnya dengan mengkoreksi BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yang terlalu tinggi sehingga tidak menjadi beban pada perhitungan suku bunga pinjaman riil bagi pelaku usaha.
Selain itu, bank yang memiliki likuiditas tinggi perlu didorong untuk memberikan pinjaman kepada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. “Banyak bank yang tidak mau menanggung risiko peningkatan NPL. Ini harus dipikirkan agar stimulus moneter Indonesia bisa lebih efektif ntk mendongkrak kegiatan ekonomi nasional di masa mendatang,” pungkasnya.
Pengamat ekonomi dari Intitute for Development of economic and finance (Indef) Rizal Taufikurohman melihat bahwa penetapan suku bunga acuan rendah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dinilai sudah tepat, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang terus mengalami penurunan.
"Sudah tepat, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menurun. Indonesia mengalami resesi, untuk itu perlu diambil kebijakan yang dapat mendorong investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa semakin positif," katanya.
Hanya saja, Rizal menambahkan, kebijakan tersebut harus dilihat efektivitasnya karena hal ini akan mendorong perbaikan investasi, kemudian perbaikan konsumsi tapi nyatanya hal tersebut masih belum mendorong peningkatan laju pasar investasi. Di 2020, uata dia, laju investasi mengalami penurunan di angka minus 4,5%. Untuk itu, kebijakan menurunkan suku bunga harus bersinergi dengan kebijakan fiskal.
tulis komentar anda