Memanfaatkan Rezim Suku Bunga Rendah
Selasa, 09 Februari 2021 - 05:50 WIB
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah membuat banyak negara masuk ke jurang krisis ekonomi. Tidak sedikit mengalami resesi yang ditandai angka pertumbuhan ekonomi negatif alias minus sedikitnya dua kuartal berturut-turut.
Indonesia termasuk salah satu negara yang terimbas cukup dalam akibat penyebaran Covid-19. Data terkini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 mengalami kontraksi alias munis 2,07%.
Belum meredanya pandemi di Tanah Air, dibuktikan dengan kasus positif Covid-19 yang mencapai 1,1 juta kasus lebih, semakin menambah berat upaya pemulihan yang sedang berlangsung. Kendati sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengenjot perekonomian seperti penyaluran bantuan tunai, insentif usaha, dan sejumlah kebijakan lainnya dalam skama dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) namun hasilnya belum terlalu signifikan.
Upaya lain juga dilakukan otoritas bank sentral yakni dengan menurunkan suku bunga acuan untuk membantu pergerakan sektor riil. Lagi-lagi upaya ini bekum optimal menggelontorkan kredit. Buktinya, per Desember 2020 lalu, pertumbuhan kredit perbankan hanya 2,4%, jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya di atas 6%. Bahan, tahun 2018, pertumbuhan kredit perbankan sepat mencapai di atas 10%.
Penurunan suku bunga acuan sebenarnya bisa menjadi kunci bergeraknya sektor riil apabila diikuti dengan laju kredit yang disalurkan ke masyarakat. Masalahnya, di masa pandemi ini nyaris semua sektor terdampak sehingga terpaksa menurunkan skala produksi atau bahkan terhenti beroperasi.
Bank Indonesia (BI) selama setahun terakhir tercatat telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate sebanyak 125 basis poin (bps) atau 1,25. Yakni, dari semula 5% di Januari 2020, menjadi 3,75% pada Januari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan mengakui, pihaknya masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Namun, tentu ada beberapa faktor yang akan menjadi penentu kebijakan tersebut salah satunya inflasi.
Indonesia termasuk salah satu negara yang terimbas cukup dalam akibat penyebaran Covid-19. Data terkini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 mengalami kontraksi alias munis 2,07%.
Belum meredanya pandemi di Tanah Air, dibuktikan dengan kasus positif Covid-19 yang mencapai 1,1 juta kasus lebih, semakin menambah berat upaya pemulihan yang sedang berlangsung. Kendati sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengenjot perekonomian seperti penyaluran bantuan tunai, insentif usaha, dan sejumlah kebijakan lainnya dalam skama dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) namun hasilnya belum terlalu signifikan.
Upaya lain juga dilakukan otoritas bank sentral yakni dengan menurunkan suku bunga acuan untuk membantu pergerakan sektor riil. Lagi-lagi upaya ini bekum optimal menggelontorkan kredit. Buktinya, per Desember 2020 lalu, pertumbuhan kredit perbankan hanya 2,4%, jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya di atas 6%. Bahan, tahun 2018, pertumbuhan kredit perbankan sepat mencapai di atas 10%.
Penurunan suku bunga acuan sebenarnya bisa menjadi kunci bergeraknya sektor riil apabila diikuti dengan laju kredit yang disalurkan ke masyarakat. Masalahnya, di masa pandemi ini nyaris semua sektor terdampak sehingga terpaksa menurunkan skala produksi atau bahkan terhenti beroperasi.
Bank Indonesia (BI) selama setahun terakhir tercatat telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate sebanyak 125 basis poin (bps) atau 1,25. Yakni, dari semula 5% di Januari 2020, menjadi 3,75% pada Januari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan mengakui, pihaknya masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Namun, tentu ada beberapa faktor yang akan menjadi penentu kebijakan tersebut salah satunya inflasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda