Memanfaatkan Rezim Suku Bunga Rendah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah membuat banyak negara masuk ke jurang krisis ekonomi. Tidak sedikit mengalami resesi yang ditandai angka pertumbuhan ekonomi negatif alias minus sedikitnya dua kuartal berturut-turut.
Indonesia termasuk salah satu negara yang terimbas cukup dalam akibat penyebaran Covid-19. Data terkini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 mengalami kontraksi alias munis 2,07%.
Belum meredanya pandemi di Tanah Air, dibuktikan dengan kasus positif Covid-19 yang mencapai 1,1 juta kasus lebih, semakin menambah berat upaya pemulihan yang sedang berlangsung. Kendati sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengenjot perekonomian seperti penyaluran bantuan tunai, insentif usaha, dan sejumlah kebijakan lainnya dalam skama dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) namun hasilnya belum terlalu signifikan.
Upaya lain juga dilakukan otoritas bank sentral yakni dengan menurunkan suku bunga acuan untuk membantu pergerakan sektor riil. Lagi-lagi upaya ini bekum optimal menggelontorkan kredit. Buktinya, per Desember 2020 lalu, pertumbuhan kredit perbankan hanya 2,4%, jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya di atas 6%. Bahan, tahun 2018, pertumbuhan kredit perbankan sepat mencapai di atas 10%.
Penurunan suku bunga acuan sebenarnya bisa menjadi kunci bergeraknya sektor riil apabila diikuti dengan laju kredit yang disalurkan ke masyarakat. Masalahnya, di masa pandemi ini nyaris semua sektor terdampak sehingga terpaksa menurunkan skala produksi atau bahkan terhenti beroperasi.
Bank Indonesia (BI) selama setahun terakhir tercatat telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate sebanyak 125 basis poin (bps) atau 1,25. Yakni, dari semula 5% di Januari 2020, menjadi 3,75% pada Januari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan mengakui, pihaknya masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Namun, tentu ada beberapa faktor yang akan menjadi penentu kebijakan tersebut salah satunya inflasi.
"Suku bunga sudah 3,75%, terakhir kami pertahankan. Apakah masih ada ruang penurunan? masih ada. Tapi apakah akan kita pakai? Lihat dulu. Masalahnya ini sudah yang terendah," ucap Perry beberapa waktu lalu.
Meski suku bunga acuan BI sudah terbilang rendah, namun perbankan nasional sepertinya masih mematok bunga kredit tinggi. Karena hal inilah, Perry mengaku akan melakukan pemeriksaan suku bunga di setiap bank dalam bentuk assessment Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Tujuannya agar ada transparansi suku bunga perbankan. Karena, saat ini kondisi likuiditas sangat tinggi namun bank tidak juga menurunkan suku bunganya.
"Kami akan melihat SBDK bank-bank itu seperti apa? untuk setiap jenis SBDK baik untuk konsumsi, modal kerja, dan lainnya. Trennya naik atau menurun," tegas Perry.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam sebuah kesempatan mengungkapkan, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami tren penurunan. Penurunan ini terjadi untuk semua jenis penggunaan kredit.
"Hal ini menunjukkan perbankan masih berupaya untuk meningkatkan volume penyaluran kredit dengan suku bunga yang lebih murah," ungkap Wimboh.
Dia menjelaskan rincian penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBK) sejak posisi Desember tahun lalu. Dari sisi SBDK Modal Kerja turun 88 bps menjadi 8,88%, lalu SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21%, dan SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97%.
Sementara untuk SBDK di semua segmen kredit juga telah berada pada single digit yaitu ritel 8,88% (turun 84,2 bps), korporasi 8,75% (turun 79,9 bps), KPR 8,36% (turun 73,1 bps), Non KPR 8,69% (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33% (turun49 bps).
"Ini didorong oleh penurunan harga pokok dana seiring dengan penurunan suku bunga acuan dan juga penurunan biaya overhead," katanya.
Permintaan Kredit Lemah
Upaya penurunan suku bunga kredit juga diklaim telah dilakukan pihak perbankan. Hal ini setidaknya diakui oleh Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Menurutnya, suku bunga BCA saat ini sudah rendah berbarengan dengan turunnya bunga acuan BI. Hanya saja, ucap Jahja, saat ini permintaan kredit dari dunia usaha ke BCA masih lemah. Penyebabnya, kata dia, adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
"Bunga BCA sudah rendah seiring turun dengan bunga BI. Cuma permintaan kreditnya yang masih lemah disebabkan PSBB dan PPKM menyebabkan dunia bisnis nggak bisa berkembang dan mereka nggak perlu kredit," ujar Jahja saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Jumat (5/2) sore.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Aestika Oryza Gunarto juga menyatakan, penurunan bunga acuan telah diikuti dengan penurunan suku bunga BRI. Sepanjang 2020, BRI telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps-150 bps. Penurunan suku bunga tersebut, tutur Oryza, merupakan salah satu bentuk dukungan dan penyelamatan yang dilakukan oleh BRI terhadap UMKM yang sedang bergelut dengan kondisi pandemi.
"Penurunan suku bunga tersebut ke depan juga akan terus dilakukan dengan mengikuti kondisi pasar, dan dilakukan melalui efisiensi dari digitalisasi proses bisnis yang dilakukan BRI," ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, Minggu (7/2).
Ingin Lebih Rendah
Di bagian lain, kalangan dunia usaha mengkritisi masih tingginya tingkat suku bunga acuan di Tanah Air jika dibandingnya dengan negara lain di ASEAN. Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Daging (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berujar, suku bunga acuan di Indonesia sudah lama menjadi yang paling tinggi di kawasan ASEAN.
Dia membandingkan, hanya Myanmar yang suku bunga pinjaman riil-nya lebih tinggi dari Indonesia di antara 10 negara ASEAN. Menurutnya, rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN sebelum pandemi beraa di level 7%.
“Dengan banyaknya negara yang berupaya memicu ekonomi melalui kebijakan moneter, kami asumsikan rata-tata suku bunga pinjaman riil di ASEAN sudah turun dari level tersebut. Mungkin di level 6% atau 5%,” katanya.
Shinta menambahkan, beberapa negara seperti Thailand, sebelum terjadi pandemi sudah memberikan kredit korporasi dengan bunga 4% per tahun. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman korporasi riil di Indonesia yang sebelum pandemi rata-rata ada di level 10-12%.
“Sepanjang pandemi suku bunga memang turun tetapi sangat tipis meskipun suku bunga acuan turun 100 bps sepanjang pandemi,? ungkapnya.
Saat ini kata dia, suku bunga pinjaman usaha riil di Indonesia yang paling murah masih sebesar 9%. Bahkan, ada bank yang mengenakan bunga 11% per tahun.
Dia berharap, idealnya suku bunga pinjaman riil Indonesia harus turun lebih signifikan dibanding saat ini. Bahkan, akan sangat baik bila bisa turun ke rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN agar daya saing di kawasan bisa lebih baik.
“Ini bisa dilakukan tanpa menurunkan suku bunga BI lebih lanjut, apalagi sampai nol. Tidak perlu. Kita bukan AS, Jepang, atau negara maju lain yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah mature dan dana publik di sektor perbankannya sudah sangat besar sehingga bisa menanggung kerugian tersebut,” katanya.
Yang perlu dilakukan, kata Shinta, adalah pembenahan efisiensi di sektor perbankan. Khususnya dengan mengkoreksi BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yang terlalu tinggi sehingga tidak menjadi beban pada perhitungan suku bunga pinjaman riil bagi pelaku usaha.
Selain itu, bank yang memiliki likuiditas tinggi perlu didorong untuk memberikan pinjaman kepada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. “Banyak bank yang tidak mau menanggung risiko peningkatan NPL. Ini harus dipikirkan agar stimulus moneter Indonesia bisa lebih efektif ntk mendongkrak kegiatan ekonomi nasional di masa mendatang,” pungkasnya.
Pengamat ekonomi dari Intitute for Development of economic and finance (Indef) Rizal Taufikurohman melihat bahwa penetapan suku bunga acuan rendah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dinilai sudah tepat, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang terus mengalami penurunan.
"Sudah tepat, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menurun. Indonesia mengalami resesi, untuk itu perlu diambil kebijakan yang dapat mendorong investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa semakin positif," katanya.
Hanya saja, Rizal menambahkan, kebijakan tersebut harus dilihat efektivitasnya karena hal ini akan mendorong perbaikan investasi, kemudian perbaikan konsumsi tapi nyatanya hal tersebut masih belum mendorong peningkatan laju pasar investasi. Di 2020, uata dia, laju investasi mengalami penurunan di angka minus 4,5%. Untuk itu, kebijakan menurunkan suku bunga harus bersinergi dengan kebijakan fiskal.
"Dengan turunnya suku bunga acuan diharapkan investasi akan tumbuh. Indonesia sangat memerlukan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan," ungkapnya.
Sementara itu, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Jahen Rezki berpendapat, penetapan suku bunga acuan rendah saat ini masih bisa dipangkas lebih lanjut, namun kebijakan untuk menahan suku bunga di angka saat ini tetap diperlukan dengan tetap menjaga kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas keuangan.
"Sisi baiknya dari suku bunga rendah ini, bisa dilihat dari beberapa faktor eksternal yang membawa dampak positif bagi perekonomian," katanya.
Namun di sisi lain, ia pun menjelaskan eskalasi sektor keuangan dan sektor riil masih belum ada kejelasan karena situasi pandemi yang masih belum tertangani dan masih terus berlangsung. Permasalahan yang terjadi adalah perbankan domestik masih kesulitan untuk menyalurkan kredit meski likuiditas di perbankan melimpah, salah satunya dikarenakan masih lemahnya permintaan.
Indonesia termasuk salah satu negara yang terimbas cukup dalam akibat penyebaran Covid-19. Data terkini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 mengalami kontraksi alias munis 2,07%.
Belum meredanya pandemi di Tanah Air, dibuktikan dengan kasus positif Covid-19 yang mencapai 1,1 juta kasus lebih, semakin menambah berat upaya pemulihan yang sedang berlangsung. Kendati sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengenjot perekonomian seperti penyaluran bantuan tunai, insentif usaha, dan sejumlah kebijakan lainnya dalam skama dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) namun hasilnya belum terlalu signifikan.
Upaya lain juga dilakukan otoritas bank sentral yakni dengan menurunkan suku bunga acuan untuk membantu pergerakan sektor riil. Lagi-lagi upaya ini bekum optimal menggelontorkan kredit. Buktinya, per Desember 2020 lalu, pertumbuhan kredit perbankan hanya 2,4%, jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya di atas 6%. Bahan, tahun 2018, pertumbuhan kredit perbankan sepat mencapai di atas 10%.
Penurunan suku bunga acuan sebenarnya bisa menjadi kunci bergeraknya sektor riil apabila diikuti dengan laju kredit yang disalurkan ke masyarakat. Masalahnya, di masa pandemi ini nyaris semua sektor terdampak sehingga terpaksa menurunkan skala produksi atau bahkan terhenti beroperasi.
Bank Indonesia (BI) selama setahun terakhir tercatat telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate sebanyak 125 basis poin (bps) atau 1,25. Yakni, dari semula 5% di Januari 2020, menjadi 3,75% pada Januari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan mengakui, pihaknya masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Namun, tentu ada beberapa faktor yang akan menjadi penentu kebijakan tersebut salah satunya inflasi.
"Suku bunga sudah 3,75%, terakhir kami pertahankan. Apakah masih ada ruang penurunan? masih ada. Tapi apakah akan kita pakai? Lihat dulu. Masalahnya ini sudah yang terendah," ucap Perry beberapa waktu lalu.
Meski suku bunga acuan BI sudah terbilang rendah, namun perbankan nasional sepertinya masih mematok bunga kredit tinggi. Karena hal inilah, Perry mengaku akan melakukan pemeriksaan suku bunga di setiap bank dalam bentuk assessment Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Tujuannya agar ada transparansi suku bunga perbankan. Karena, saat ini kondisi likuiditas sangat tinggi namun bank tidak juga menurunkan suku bunganya.
"Kami akan melihat SBDK bank-bank itu seperti apa? untuk setiap jenis SBDK baik untuk konsumsi, modal kerja, dan lainnya. Trennya naik atau menurun," tegas Perry.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam sebuah kesempatan mengungkapkan, suku bunga kredit perbankan sudah mengalami tren penurunan. Penurunan ini terjadi untuk semua jenis penggunaan kredit.
"Hal ini menunjukkan perbankan masih berupaya untuk meningkatkan volume penyaluran kredit dengan suku bunga yang lebih murah," ungkap Wimboh.
Dia menjelaskan rincian penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBK) sejak posisi Desember tahun lalu. Dari sisi SBDK Modal Kerja turun 88 bps menjadi 8,88%, lalu SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21%, dan SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97%.
Sementara untuk SBDK di semua segmen kredit juga telah berada pada single digit yaitu ritel 8,88% (turun 84,2 bps), korporasi 8,75% (turun 79,9 bps), KPR 8,36% (turun 73,1 bps), Non KPR 8,69% (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33% (turun49 bps).
"Ini didorong oleh penurunan harga pokok dana seiring dengan penurunan suku bunga acuan dan juga penurunan biaya overhead," katanya.
Permintaan Kredit Lemah
Upaya penurunan suku bunga kredit juga diklaim telah dilakukan pihak perbankan. Hal ini setidaknya diakui oleh Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Menurutnya, suku bunga BCA saat ini sudah rendah berbarengan dengan turunnya bunga acuan BI. Hanya saja, ucap Jahja, saat ini permintaan kredit dari dunia usaha ke BCA masih lemah. Penyebabnya, kata dia, adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
"Bunga BCA sudah rendah seiring turun dengan bunga BI. Cuma permintaan kreditnya yang masih lemah disebabkan PSBB dan PPKM menyebabkan dunia bisnis nggak bisa berkembang dan mereka nggak perlu kredit," ujar Jahja saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Jumat (5/2) sore.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Aestika Oryza Gunarto juga menyatakan, penurunan bunga acuan telah diikuti dengan penurunan suku bunga BRI. Sepanjang 2020, BRI telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps-150 bps. Penurunan suku bunga tersebut, tutur Oryza, merupakan salah satu bentuk dukungan dan penyelamatan yang dilakukan oleh BRI terhadap UMKM yang sedang bergelut dengan kondisi pandemi.
"Penurunan suku bunga tersebut ke depan juga akan terus dilakukan dengan mengikuti kondisi pasar, dan dilakukan melalui efisiensi dari digitalisasi proses bisnis yang dilakukan BRI," ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, Minggu (7/2).
Ingin Lebih Rendah
Di bagian lain, kalangan dunia usaha mengkritisi masih tingginya tingkat suku bunga acuan di Tanah Air jika dibandingnya dengan negara lain di ASEAN. Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Daging (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berujar, suku bunga acuan di Indonesia sudah lama menjadi yang paling tinggi di kawasan ASEAN.
Dia membandingkan, hanya Myanmar yang suku bunga pinjaman riil-nya lebih tinggi dari Indonesia di antara 10 negara ASEAN. Menurutnya, rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN sebelum pandemi beraa di level 7%.
“Dengan banyaknya negara yang berupaya memicu ekonomi melalui kebijakan moneter, kami asumsikan rata-tata suku bunga pinjaman riil di ASEAN sudah turun dari level tersebut. Mungkin di level 6% atau 5%,” katanya.
Shinta menambahkan, beberapa negara seperti Thailand, sebelum terjadi pandemi sudah memberikan kredit korporasi dengan bunga 4% per tahun. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman korporasi riil di Indonesia yang sebelum pandemi rata-rata ada di level 10-12%.
“Sepanjang pandemi suku bunga memang turun tetapi sangat tipis meskipun suku bunga acuan turun 100 bps sepanjang pandemi,? ungkapnya.
Saat ini kata dia, suku bunga pinjaman usaha riil di Indonesia yang paling murah masih sebesar 9%. Bahkan, ada bank yang mengenakan bunga 11% per tahun.
Dia berharap, idealnya suku bunga pinjaman riil Indonesia harus turun lebih signifikan dibanding saat ini. Bahkan, akan sangat baik bila bisa turun ke rata-rata suku bunga pinjaman riil di ASEAN agar daya saing di kawasan bisa lebih baik.
“Ini bisa dilakukan tanpa menurunkan suku bunga BI lebih lanjut, apalagi sampai nol. Tidak perlu. Kita bukan AS, Jepang, atau negara maju lain yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah mature dan dana publik di sektor perbankannya sudah sangat besar sehingga bisa menanggung kerugian tersebut,” katanya.
Yang perlu dilakukan, kata Shinta, adalah pembenahan efisiensi di sektor perbankan. Khususnya dengan mengkoreksi BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yang terlalu tinggi sehingga tidak menjadi beban pada perhitungan suku bunga pinjaman riil bagi pelaku usaha.
Selain itu, bank yang memiliki likuiditas tinggi perlu didorong untuk memberikan pinjaman kepada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. “Banyak bank yang tidak mau menanggung risiko peningkatan NPL. Ini harus dipikirkan agar stimulus moneter Indonesia bisa lebih efektif ntk mendongkrak kegiatan ekonomi nasional di masa mendatang,” pungkasnya.
Pengamat ekonomi dari Intitute for Development of economic and finance (Indef) Rizal Taufikurohman melihat bahwa penetapan suku bunga acuan rendah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dinilai sudah tepat, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang terus mengalami penurunan.
"Sudah tepat, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menurun. Indonesia mengalami resesi, untuk itu perlu diambil kebijakan yang dapat mendorong investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa semakin positif," katanya.
Hanya saja, Rizal menambahkan, kebijakan tersebut harus dilihat efektivitasnya karena hal ini akan mendorong perbaikan investasi, kemudian perbaikan konsumsi tapi nyatanya hal tersebut masih belum mendorong peningkatan laju pasar investasi. Di 2020, uata dia, laju investasi mengalami penurunan di angka minus 4,5%. Untuk itu, kebijakan menurunkan suku bunga harus bersinergi dengan kebijakan fiskal.
"Dengan turunnya suku bunga acuan diharapkan investasi akan tumbuh. Indonesia sangat memerlukan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan," ungkapnya.
Sementara itu, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Jahen Rezki berpendapat, penetapan suku bunga acuan rendah saat ini masih bisa dipangkas lebih lanjut, namun kebijakan untuk menahan suku bunga di angka saat ini tetap diperlukan dengan tetap menjaga kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas keuangan.
"Sisi baiknya dari suku bunga rendah ini, bisa dilihat dari beberapa faktor eksternal yang membawa dampak positif bagi perekonomian," katanya.
Namun di sisi lain, ia pun menjelaskan eskalasi sektor keuangan dan sektor riil masih belum ada kejelasan karena situasi pandemi yang masih belum tertangani dan masih terus berlangsung. Permasalahan yang terjadi adalah perbankan domestik masih kesulitan untuk menyalurkan kredit meski likuiditas di perbankan melimpah, salah satunya dikarenakan masih lemahnya permintaan.
(ynt)