6 Alasan PPATK Dorong Keberadaan RUU Perampasan Aset
Rabu, 24 Februari 2021 - 16:48 WIB
JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat sejumlah alasan yang mendasari adanya rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset. Keberadaan beleid baru itu dinilai urgent untuk perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia
"Sehubungan dengan banyaknya permintaan penjelasan lebih lanjut mengenai salah satu hasil pertemuan saya sebagai Kepala PPATK dengan Menteri Hukum dan HAM (pada) tanggal 15 Februari (2021) yang lalu, berikut saya sampaikan penjelasan tambahan kami mengenai RUU Perampasan Aset yang kami nilai sangat urgent untuk perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia," ujar Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam keterangan pers yang diterima MNC Portal Indonesia, Rabu (24/2/2021).
(
)
Adapun poin-poin yang mendasari PPATK untuk mendorong adanya RUU Perampasan Aset. Diantaranya, pertama tingkat pemberantasan tindak pidana ekonomi, termasuk korupsi, narkoba, perpajakan, keuangan dan lain-lain tingkat keberhasilannya dinilai relatif rendah.
Salah satu penyebabnya faktor penjera dan deterrent masih sangat tidak memadai. Dalam hal ini perampasan seluruh aset hasil tindak kejahatan ekonomi merupakan faktor penjera atau deterrent faktor yang hrs dilakukan.
( )
Kedua, kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih (sophisticated) dengan segala bentuk rekayasa keuangan (financial engineering) dan rekayasa hukum (legal engineering) sehingga mempersulit proses hukum di pengadilan maupun proses penyitaan konvensional.
Ketiga, recovery aset kerugian negara atau kerugian sosial-ekonomi dari kejahatan-kejahatan ekonomi masih sangat rendah, sehingga belum cukup membantu keuangan negara dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, penindakan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang seharusnya menyertai tindak pidana ekonomi, dapat dilakukan secara progresif berdasarkan UU No.8 Tahun 2010 masih terbatas realisasinya.
(
)
Lima, RUU Perampasan Aset dianggap termasuk menangani persoalan aset hasil tindak pidana tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tdk diketahui keberadaannya, atau terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
"Keenam, salah satu ketentuan penting RUU Perampasan Aset ini bahwa perampasan aset tidak digantungkan kpd penjatuhan pidana thd pelaku tindak pidana. PPATK tentu saja menyerahkan tindak lanjut dari RUU ini kepada pihak Pemerintah dan DPR. Harapan PPATK tentu RUU ini dapat segera dibahas dan disahkan menjadi UU," katanya.
"Sehubungan dengan banyaknya permintaan penjelasan lebih lanjut mengenai salah satu hasil pertemuan saya sebagai Kepala PPATK dengan Menteri Hukum dan HAM (pada) tanggal 15 Februari (2021) yang lalu, berikut saya sampaikan penjelasan tambahan kami mengenai RUU Perampasan Aset yang kami nilai sangat urgent untuk perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia," ujar Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam keterangan pers yang diterima MNC Portal Indonesia, Rabu (24/2/2021).
(
Baca Juga
Adapun poin-poin yang mendasari PPATK untuk mendorong adanya RUU Perampasan Aset. Diantaranya, pertama tingkat pemberantasan tindak pidana ekonomi, termasuk korupsi, narkoba, perpajakan, keuangan dan lain-lain tingkat keberhasilannya dinilai relatif rendah.
Salah satu penyebabnya faktor penjera dan deterrent masih sangat tidak memadai. Dalam hal ini perampasan seluruh aset hasil tindak kejahatan ekonomi merupakan faktor penjera atau deterrent faktor yang hrs dilakukan.
( )
Kedua, kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih (sophisticated) dengan segala bentuk rekayasa keuangan (financial engineering) dan rekayasa hukum (legal engineering) sehingga mempersulit proses hukum di pengadilan maupun proses penyitaan konvensional.
Ketiga, recovery aset kerugian negara atau kerugian sosial-ekonomi dari kejahatan-kejahatan ekonomi masih sangat rendah, sehingga belum cukup membantu keuangan negara dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, penindakan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang seharusnya menyertai tindak pidana ekonomi, dapat dilakukan secara progresif berdasarkan UU No.8 Tahun 2010 masih terbatas realisasinya.
(
Baca Juga
Lima, RUU Perampasan Aset dianggap termasuk menangani persoalan aset hasil tindak pidana tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tdk diketahui keberadaannya, atau terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
"Keenam, salah satu ketentuan penting RUU Perampasan Aset ini bahwa perampasan aset tidak digantungkan kpd penjatuhan pidana thd pelaku tindak pidana. PPATK tentu saja menyerahkan tindak lanjut dari RUU ini kepada pihak Pemerintah dan DPR. Harapan PPATK tentu RUU ini dapat segera dibahas dan disahkan menjadi UU," katanya.
(ind)
tulis komentar anda