Produk Asing: Benci Tapi Rindu, RI Harus Mantap dan Akurat Soal Impor
Selasa, 09 Maret 2021 - 05:05 WIB
JAKARTA - Direktur Riset Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan, sebagian besar produk impor Indonesia adalah bahan baku atau penolong. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa bahan baku atau penolong Indonesia sebesar 72% di tahun 2020.
“Pra pandemi juga saya lihat data Januari 2021 dan Januari 2020 jadi dia hampir lah sekitar 70an% itu bahan baku atau bahan penolong, bahan modal ya dari 15% 16%, ya stabil juga. Jadi, ya bahan konsumtifnya itu iya tas-tas mahal, mobil, sepatu itu ya 10%,” katanya.
Menurut dia, jika bahan baku yang bahan modalnya dibatasi dan impor dikurangi, artinya produksi dalam negeri juga akan terganggu.
“Jadi harus mantap dan akurat kalau mau benci impor gitu kan. Ya impor yang mana gitu kan yang mau di benci ? Saya bandingkan dengan Malaysia, Malaysia juga banyak impor mesin dan elektronik, ada juga migas. Tapi yang diekspor lebih banyak lagi manufakturnya,” ujar Berly.
“Gimana nih kok dia bisa melakukan seperti ini ya? Dari segi nilai lebih banyak, dari segi komposisi juga lebih manufakturnya ya. Itu karena Malaysia sudah menjadi salah satu titik produksi global supply chain, jadi di mana yang diimpor kemudian diekspor lagi,” tambah dia.
Sementara itu, Berly menjelaskan, berdasarkan data, ekonomi Indonesia relatif tertutup dan rasio trade to GDP Indonesia juga kecil. Kondisi ini berbeda di negara yang cukup maju dan meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Sebagai contoh di Malaysia, Thailand, dan Vietnam justru memiliki tingkat rasio trade to GDP yang cukup besar.
“Kita lihat bahwa ekspor dari negara-negara yang saya sebut tadi itu banyakan ekspor manufaktur, ekspor medium dan high tech. Jadi secara teoritis ya ini debat klasik antara Import Substitution (IS) dan Export Promotion (EP). Di mana negara yang baru merdeka dan awal berkembang itu ga punya banyak valuta asing, ga punya Dollar, EURO, atau Yen sehingga mereka perlu berhemat sehingga berusaha mengurangi impor,” jelas dia.
“Pra pandemi juga saya lihat data Januari 2021 dan Januari 2020 jadi dia hampir lah sekitar 70an% itu bahan baku atau bahan penolong, bahan modal ya dari 15% 16%, ya stabil juga. Jadi, ya bahan konsumtifnya itu iya tas-tas mahal, mobil, sepatu itu ya 10%,” katanya.
Menurut dia, jika bahan baku yang bahan modalnya dibatasi dan impor dikurangi, artinya produksi dalam negeri juga akan terganggu.
“Jadi harus mantap dan akurat kalau mau benci impor gitu kan. Ya impor yang mana gitu kan yang mau di benci ? Saya bandingkan dengan Malaysia, Malaysia juga banyak impor mesin dan elektronik, ada juga migas. Tapi yang diekspor lebih banyak lagi manufakturnya,” ujar Berly.
“Gimana nih kok dia bisa melakukan seperti ini ya? Dari segi nilai lebih banyak, dari segi komposisi juga lebih manufakturnya ya. Itu karena Malaysia sudah menjadi salah satu titik produksi global supply chain, jadi di mana yang diimpor kemudian diekspor lagi,” tambah dia.
Sementara itu, Berly menjelaskan, berdasarkan data, ekonomi Indonesia relatif tertutup dan rasio trade to GDP Indonesia juga kecil. Kondisi ini berbeda di negara yang cukup maju dan meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Sebagai contoh di Malaysia, Thailand, dan Vietnam justru memiliki tingkat rasio trade to GDP yang cukup besar.
“Kita lihat bahwa ekspor dari negara-negara yang saya sebut tadi itu banyakan ekspor manufaktur, ekspor medium dan high tech. Jadi secara teoritis ya ini debat klasik antara Import Substitution (IS) dan Export Promotion (EP). Di mana negara yang baru merdeka dan awal berkembang itu ga punya banyak valuta asing, ga punya Dollar, EURO, atau Yen sehingga mereka perlu berhemat sehingga berusaha mengurangi impor,” jelas dia.
(akr)
tulis komentar anda