Mafia Impor Diduga Incar Cuan Rp3 Triliun di Balik Kebijakan Impor Beras
Selasa, 09 Maret 2021 - 16:21 WIB
JAKARTA - Ketua Dewan Nasional Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, menduga ada peran mafia impor pangan di balik kebijakan impor beras sebanyak satu juta ton yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, keputusan pemerintah dalam melakukan impor tidak sesuai fakta lapangan. ( Baca juga: Impor Beras hanya Akan Membuat Petani Kian Tekor )
"Mereka sudah masuk ke sistem yang besar dalam pemerintahan sehingga bisa mengatur kebijakan. Sebab, keputusan melakukan impor tidak berdasarkan fakta-fakta di lapangan," katanya kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (9/3/2021).
Ia menjelaskan ada beberapa indikasi atas dugaan tersebut. Pertama, selisih harga beras di pasar dalam negeri dan internasional begitu tinggi, yaitu sekitar Rp2.400 per kilogram. Jika dihitung nilai margin bisa sampai Rp3 triliun.
"Setiap tahunnya kebijakan impor beras dilakukan pemerintah di saat panen raya. Ini sangat merugikan pentani karena membuat harga beras turun," jelasnya.
Kedua, selalu ada kesimpangsiuran data tentang kecukupan beras. Hal ini merupakan masalah yang sama setiap tahunnya.
"Di tengah zaman teknologi seperti ini, dan pemerintah juga sudah menyamakan data, berapa besar data panen, luas daerah dan produksi masa bukan menurun malah semakin besar impornya," ungkapnya.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, harus ada data base yang valid. Kemudian data tersebut harus terintegrasi mulai dari petani hingga kepemerintahan.
"Data harus diperbaiki dan data itulah yang menjadi dasar pengambilan keputusan data dari daerah, petani, dan pemerintah. Setelah data itu ada barulah presiden yang mengambil keputusan," terangnya.
Kemudian, harus ada badan pangan yang mengatur dan memiliki data-data tersebut. Sehingga secara kongkret badan itu melihat ketersediaan pangan. ( Baca juga: Soal Tudingan Rp100 Juta untuk Peserta KLB, Eks Pendiri Demokrat: Itu Pembohongan )
"Badan pangan ini sudah ada di undang-undang, namun belum dibuat hingga sekarang. Kalo ada badan pangan bisa lebih konkret melihat data-data ketersediaan pangan," tandasnya.
"Mereka sudah masuk ke sistem yang besar dalam pemerintahan sehingga bisa mengatur kebijakan. Sebab, keputusan melakukan impor tidak berdasarkan fakta-fakta di lapangan," katanya kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (9/3/2021).
Ia menjelaskan ada beberapa indikasi atas dugaan tersebut. Pertama, selisih harga beras di pasar dalam negeri dan internasional begitu tinggi, yaitu sekitar Rp2.400 per kilogram. Jika dihitung nilai margin bisa sampai Rp3 triliun.
"Setiap tahunnya kebijakan impor beras dilakukan pemerintah di saat panen raya. Ini sangat merugikan pentani karena membuat harga beras turun," jelasnya.
Kedua, selalu ada kesimpangsiuran data tentang kecukupan beras. Hal ini merupakan masalah yang sama setiap tahunnya.
"Di tengah zaman teknologi seperti ini, dan pemerintah juga sudah menyamakan data, berapa besar data panen, luas daerah dan produksi masa bukan menurun malah semakin besar impornya," ungkapnya.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, harus ada data base yang valid. Kemudian data tersebut harus terintegrasi mulai dari petani hingga kepemerintahan.
"Data harus diperbaiki dan data itulah yang menjadi dasar pengambilan keputusan data dari daerah, petani, dan pemerintah. Setelah data itu ada barulah presiden yang mengambil keputusan," terangnya.
Kemudian, harus ada badan pangan yang mengatur dan memiliki data-data tersebut. Sehingga secara kongkret badan itu melihat ketersediaan pangan. ( Baca juga: Soal Tudingan Rp100 Juta untuk Peserta KLB, Eks Pendiri Demokrat: Itu Pembohongan )
"Badan pangan ini sudah ada di undang-undang, namun belum dibuat hingga sekarang. Kalo ada badan pangan bisa lebih konkret melihat data-data ketersediaan pangan," tandasnya.
(uka)
tulis komentar anda