Simalakama Paket Stimulus AS: Disebut Bisa Tingkatkan Inflasi
Senin, 15 Maret 2021 - 11:56 WIB
JAKARTA - Equity research analyst PT Panin Sekuritas Ishlah Bimo Prakoso menuturkan, kenaikan kembali dari imbal hasil obligasi di Amerika Serikat (AS) dengan tenor 10 tahun dan juga paket mega stimulus sebesar USD1,9 triliun yang akan segera cair ini akan memberi dampak yang positif bagi market dalam negeri.
“Jadi kalau kita lihat dalam jangka waktu dekat yang benar-benar dekat, at least kaya seminggu atau sebulan, otomatis kita melihat positif arahnya karena apa? Stimulus USD1,9 triliun ini adalah yang terbesar di sejarah stimulus US dari krisis-krisis yang sebelumnya pernah ada,” tuturnya hari ini (15/3/2021) dalam Market Opening IDX Channel. ( Baca juga:Joe Biden Target AS Bebas Covid Saat 4 Juli, Ekonomi Paman Sam Bisa Tumbuh 5% )
Ishlah menjelaskan, dengan adanya stimulus tersebut otomatis ekspektasi peningkatan suplai dari dolar itu juga akan meningkat signifikan di pasar global, baik itu di beberapa negara maju ataupun negara berkembang seperti Indonesia.
“Dampaknya apa? Dengan meningkatnya suplai dolar ini pertama harapannya rupiah kita menguat. Lalu yang kedua di sini juga ada potensi kita bisa menangkap yang namanya foreign flow karena otomatis kan dengan dolar yang meningkat signifikan ya USD1,9 triliun stimulus dari paket Joe Biden jadi nanti 1,9 triliun ini juga sebagian akan tersebar ke beberapa negara dan salah satunya kita lihat ada potensi di Indonesia,” jelas dia.
Di sisi lain, dia mengatakan, yang perlu digarisbawahi adalah ketika sudah ada stimulus tetapi ada concern juga bahwa perbaikan ekonomi di AS itu lebih cepat dari ekspetasi. Menurutnya, ini akan memberi efek negatif bagi negara berkembang.
“Nah dampaknya apa? Bukan ini malah positif kalau ternyata perbaikan ekonomi itu lebih cepat? Ternyata engga begitu positif juga. Karena dampaknya itu negatif buat negara berkembang, itu masih ekspetasi tapi ya. Dengan meningkatnya rate dari recovery of economics di US, di sini ada ekspetasi nanti inflasinya itu berpotensi juga meningkat lebih tinggi dari ekspetasi,” kata Ishlah. ( Baca juga:Bikin Gerah Otomotif Jepang, Toyota Siap Ladeni Apple )
“Yang dikhawatirkan dengan inflasi yang meningkat, The Fed akan melakukan tindakan yang lebih preventif untuk mencegah ekonomi di US overheating. Biasanya preventifnya itu dari sisi moneter akan diperketat lagi. Nah di sini yang ditakutkan kalau dari sisi moneter diperketat ya, nanti di sini suku bunga ada potensi untuk naik di US,” tambah dia.
“Jadi kalau kita lihat dalam jangka waktu dekat yang benar-benar dekat, at least kaya seminggu atau sebulan, otomatis kita melihat positif arahnya karena apa? Stimulus USD1,9 triliun ini adalah yang terbesar di sejarah stimulus US dari krisis-krisis yang sebelumnya pernah ada,” tuturnya hari ini (15/3/2021) dalam Market Opening IDX Channel. ( Baca juga:Joe Biden Target AS Bebas Covid Saat 4 Juli, Ekonomi Paman Sam Bisa Tumbuh 5% )
Ishlah menjelaskan, dengan adanya stimulus tersebut otomatis ekspektasi peningkatan suplai dari dolar itu juga akan meningkat signifikan di pasar global, baik itu di beberapa negara maju ataupun negara berkembang seperti Indonesia.
“Dampaknya apa? Dengan meningkatnya suplai dolar ini pertama harapannya rupiah kita menguat. Lalu yang kedua di sini juga ada potensi kita bisa menangkap yang namanya foreign flow karena otomatis kan dengan dolar yang meningkat signifikan ya USD1,9 triliun stimulus dari paket Joe Biden jadi nanti 1,9 triliun ini juga sebagian akan tersebar ke beberapa negara dan salah satunya kita lihat ada potensi di Indonesia,” jelas dia.
Di sisi lain, dia mengatakan, yang perlu digarisbawahi adalah ketika sudah ada stimulus tetapi ada concern juga bahwa perbaikan ekonomi di AS itu lebih cepat dari ekspetasi. Menurutnya, ini akan memberi efek negatif bagi negara berkembang.
“Nah dampaknya apa? Bukan ini malah positif kalau ternyata perbaikan ekonomi itu lebih cepat? Ternyata engga begitu positif juga. Karena dampaknya itu negatif buat negara berkembang, itu masih ekspetasi tapi ya. Dengan meningkatnya rate dari recovery of economics di US, di sini ada ekspetasi nanti inflasinya itu berpotensi juga meningkat lebih tinggi dari ekspetasi,” kata Ishlah. ( Baca juga:Bikin Gerah Otomotif Jepang, Toyota Siap Ladeni Apple )
“Yang dikhawatirkan dengan inflasi yang meningkat, The Fed akan melakukan tindakan yang lebih preventif untuk mencegah ekonomi di US overheating. Biasanya preventifnya itu dari sisi moneter akan diperketat lagi. Nah di sini yang ditakutkan kalau dari sisi moneter diperketat ya, nanti di sini suku bunga ada potensi untuk naik di US,” tambah dia.
(uka)
tulis komentar anda