Urban Farming, Bertani di Lahan Mini Solusi Ketahanan Pangan
Senin, 05 April 2021 - 05:34 WIB
Kedua, praktik urban farming juga bisa memberi gaya hidup sehat. Itu karena produk pertanian yang dihasilkan sudah terencana dengan baik. Sebagai contoh, pada umumnya tanaman tidak menggunakan pupuk berlebihan. Kalaupun menggunakan pupuk kimaiwi, itu digunakan secara tepat.
Ketiga, urban farming juga memberi manfaat ekonomi. Ketika dikerjakan secara profesional dengan menggunakan luas lahan tertentu, produk yang dihasilkan akan lebih banyak, sehingga bisa dijual dan menambah income keluarga.
Peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Dian Armanda menyebut, urban farming memberi banyak manfaat, antara lain dari sisi ekologis, edukasi, estetika, ekonomi, dan kesehatan.
Secara ekologi, kata dia, dengan adanya tanaman di area perkotaan, lingkungan menjadi lebih hijau, dan oksigen lebih banyak serta pencemaran udara berkurang. Sedangkan manfaat edukasi, yakni masyarakat jadi belajar kembali ke dasar bahwa menanam itu sebenarnya adalah basic lifeskill manusia.
“Orang itu harus bisa menanam. Misalnya di masa pandemi ada orang terkena PHK, atau usaha bangkrut, dia bisa beralih menanam. Sekali bisa menanam, kita bisa hidup,” ujarnya.
Urban farming juga memberi manfaat estetika. Menurut Dian, kalau dulu tanaman hias itu hobi. “Baru terasa sekarang kalau makanan itu bisa jadi bagian dari estetika itu sendiri. Ketika tanam tanaman pangan ada juga nilai estetika,” ujarnya.
Manfaat ekonomi diperoleh karena hasil produksi urban farming bisa mengurangi ketergantungan dengan pasar karena sebagian makanan bisa diproduksi sendiri. Sedangkan manfaat kesehatan, urban farming memberi nilai terapi. “Ketika kita mampu memproduksi makanan atau pangan sendiri, di situ ada kepuasan yang tidak terbeli. Ini baru terasa ketika kita melakukannya,” paparnya.
Solusi Pangan Masa Depan
Di masa depan, kegiatan urban farming diyakini tidak lagi sekadar penyaluran hobi, melainkan bisa menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat perkotaan. Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pada 2050, kebutuhan produksi pangan dunia meningkat hingga 50% jika dibandingkan 2012. Saat itu diperkirakan sebanyak 9,7 miliar penduduk bumi membutuhkan pangan dan 68% di antaranya adalah warga perkotaan.
Dian menyebut pertanian perdesaan di masa mendatang menemui banyak tantangan. Hal ini antara lain disebabkan makin banyaknya lahan konvensional yang beralih fungsi menjadi permukiman, ledakan jumlah penduduk, dan makin menurunnya jumlah petani. Dalam situasi ini urban farming semakin relevan sebagai solusi pangan masyarakat kota di masa depan.
Ketiga, urban farming juga memberi manfaat ekonomi. Ketika dikerjakan secara profesional dengan menggunakan luas lahan tertentu, produk yang dihasilkan akan lebih banyak, sehingga bisa dijual dan menambah income keluarga.
Peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Dian Armanda menyebut, urban farming memberi banyak manfaat, antara lain dari sisi ekologis, edukasi, estetika, ekonomi, dan kesehatan.
Secara ekologi, kata dia, dengan adanya tanaman di area perkotaan, lingkungan menjadi lebih hijau, dan oksigen lebih banyak serta pencemaran udara berkurang. Sedangkan manfaat edukasi, yakni masyarakat jadi belajar kembali ke dasar bahwa menanam itu sebenarnya adalah basic lifeskill manusia.
“Orang itu harus bisa menanam. Misalnya di masa pandemi ada orang terkena PHK, atau usaha bangkrut, dia bisa beralih menanam. Sekali bisa menanam, kita bisa hidup,” ujarnya.
Urban farming juga memberi manfaat estetika. Menurut Dian, kalau dulu tanaman hias itu hobi. “Baru terasa sekarang kalau makanan itu bisa jadi bagian dari estetika itu sendiri. Ketika tanam tanaman pangan ada juga nilai estetika,” ujarnya.
Manfaat ekonomi diperoleh karena hasil produksi urban farming bisa mengurangi ketergantungan dengan pasar karena sebagian makanan bisa diproduksi sendiri. Sedangkan manfaat kesehatan, urban farming memberi nilai terapi. “Ketika kita mampu memproduksi makanan atau pangan sendiri, di situ ada kepuasan yang tidak terbeli. Ini baru terasa ketika kita melakukannya,” paparnya.
Solusi Pangan Masa Depan
Di masa depan, kegiatan urban farming diyakini tidak lagi sekadar penyaluran hobi, melainkan bisa menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat perkotaan. Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pada 2050, kebutuhan produksi pangan dunia meningkat hingga 50% jika dibandingkan 2012. Saat itu diperkirakan sebanyak 9,7 miliar penduduk bumi membutuhkan pangan dan 68% di antaranya adalah warga perkotaan.
Dian menyebut pertanian perdesaan di masa mendatang menemui banyak tantangan. Hal ini antara lain disebabkan makin banyaknya lahan konvensional yang beralih fungsi menjadi permukiman, ledakan jumlah penduduk, dan makin menurunnya jumlah petani. Dalam situasi ini urban farming semakin relevan sebagai solusi pangan masyarakat kota di masa depan.
tulis komentar anda