Diskusi SAS Institut Bahas Sertifikasi Halal dalam RUU Ciptaker
Rabu, 20 Mei 2020 - 19:16 WIB
JAKARTA - Dalam RUU Cipta Kerja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan sertifikat. Cendekiawan muslim Abdul Khaliq Ahmad menganggap, ketentuan ini aspiratif karena membuka ruang bagi ormas Islam lain untuk memeriksa kehalalan.
"Sebelumnya kan hanya MUI yang dilibatkan. Dalam RUU Ciptaker, dibuka sphere lebih luas, mengundang ormas lain. Kita tahu, kompetensi ormas di luar MUI banyak yang memenuhi syarat," kata Abdul Khaliq Ahmad dalam seminar online bertajuk 'Kepentingan Publik dalam Omnibus Law: Ada di Mana' yang diselenggarakan Said Aqil Siradj Institut.
Menurut Ahmad, dari segi keterlibatan lembaga yang ikut memeriksa halal, RUU Ciptaker aspiratif. "Saya lihat ini suatu kemajuan karena dalam undang-undang sebelumnya peluang keterlibatan ormas Islam tertutup. Idealnya, Kemenag posisinya lebih sebagai regulator. Soal pelaksanaan bisa diberikan kepada organiasi keagamaan yang dianggap memenuhi persyaratan," tutur Ahmad yang juga Ketua Umum Silaturahmi Haji dan Umroh Indonesia (SAHI).
Soal keterlibatan ormas selain MUI dalam RUU Ciptaker memang menjadi salah satu isu yang menimbulkan perdebatan sejak draft RUU diserahkan ke DPR dan dirilis ke publik. Sejumlah pihak menilai ketentuan ini akan menimbulkan beda pandangan, dan bisa membebani pihak yang akan mengajukan sertifikasi halal. Pasalnya, pihak yang mengajukan harus mendatangi satu per satu ormas Islam.
Sebaliknya, menurut Ahmad, kondisi ini akan memudahkan para pengusaha yang membutuhkan sertifikasi halal. Karena selama ini, ada jutaan UMKM yang membutuhkan legitimasi halal tapi berpusat di MUI.
"Sertifikasi halal selama ini tidak mudah. MUI dalam 1 tahun menyelesaikan hanya sekitar 200 ribuan lebih. Padahal sertifikasi jaminan produk halal yang dibutuhkan mencapai 64 juta. Karenanya perlu dilibatkan ormas lain yang memiliki kompetensi seperti NU dan Muhammadiyah, di luar MUI. Kemenang biar menjadi regulator saja," kata Ahmad.
Ahmad menegaskan, memajukan produk halal harus menjadi komitmen bersama. Karena itu, peran ulama di luar MUI juga perlu dipastikan dalam pemeriksaan kehalalan sebuah produk.
"Saya kasih contoh, kehalalan produk yang berasal dari hewan dan dijual oleh pedagang kaki lima itu kan harus jelas. Kalau Kemenag yang mensertifikasi tidak mampu karena keterbatasan SDM, ini perlu diberikan ke Ormas," tambah Ahmad.
Selain masalah sertifikasi halal, Diskusi SAS Institut juga membahas sejumlah isu dalam RUU Ciptaker, khususnya terkait hak-hak pekerja. Sejumlah pembicara seperti Direktur Infid, Sugeng Bahagio, Saiful Bahri Ansori, Anggota DPR dan Presiden Sarbumusi dan Khalid Syairozi, Sekjen Isnu mengkritisi mekanisme penyusunan RUU yang dianggap bermasalah.
"Jadi, RUU Ciptaker mungkin bisa memuluskan agenda investasi, tapi tidak boleh sampai menghilangkan hak-hak dan perlindungan kepada pekerja," ujar Imdadun Rahmat, Direktur SAS yang menjadi pemantik diskusi.
"Sebelumnya kan hanya MUI yang dilibatkan. Dalam RUU Ciptaker, dibuka sphere lebih luas, mengundang ormas lain. Kita tahu, kompetensi ormas di luar MUI banyak yang memenuhi syarat," kata Abdul Khaliq Ahmad dalam seminar online bertajuk 'Kepentingan Publik dalam Omnibus Law: Ada di Mana' yang diselenggarakan Said Aqil Siradj Institut.
Menurut Ahmad, dari segi keterlibatan lembaga yang ikut memeriksa halal, RUU Ciptaker aspiratif. "Saya lihat ini suatu kemajuan karena dalam undang-undang sebelumnya peluang keterlibatan ormas Islam tertutup. Idealnya, Kemenag posisinya lebih sebagai regulator. Soal pelaksanaan bisa diberikan kepada organiasi keagamaan yang dianggap memenuhi persyaratan," tutur Ahmad yang juga Ketua Umum Silaturahmi Haji dan Umroh Indonesia (SAHI).
Soal keterlibatan ormas selain MUI dalam RUU Ciptaker memang menjadi salah satu isu yang menimbulkan perdebatan sejak draft RUU diserahkan ke DPR dan dirilis ke publik. Sejumlah pihak menilai ketentuan ini akan menimbulkan beda pandangan, dan bisa membebani pihak yang akan mengajukan sertifikasi halal. Pasalnya, pihak yang mengajukan harus mendatangi satu per satu ormas Islam.
Sebaliknya, menurut Ahmad, kondisi ini akan memudahkan para pengusaha yang membutuhkan sertifikasi halal. Karena selama ini, ada jutaan UMKM yang membutuhkan legitimasi halal tapi berpusat di MUI.
"Sertifikasi halal selama ini tidak mudah. MUI dalam 1 tahun menyelesaikan hanya sekitar 200 ribuan lebih. Padahal sertifikasi jaminan produk halal yang dibutuhkan mencapai 64 juta. Karenanya perlu dilibatkan ormas lain yang memiliki kompetensi seperti NU dan Muhammadiyah, di luar MUI. Kemenang biar menjadi regulator saja," kata Ahmad.
Ahmad menegaskan, memajukan produk halal harus menjadi komitmen bersama. Karena itu, peran ulama di luar MUI juga perlu dipastikan dalam pemeriksaan kehalalan sebuah produk.
"Saya kasih contoh, kehalalan produk yang berasal dari hewan dan dijual oleh pedagang kaki lima itu kan harus jelas. Kalau Kemenag yang mensertifikasi tidak mampu karena keterbatasan SDM, ini perlu diberikan ke Ormas," tambah Ahmad.
Selain masalah sertifikasi halal, Diskusi SAS Institut juga membahas sejumlah isu dalam RUU Ciptaker, khususnya terkait hak-hak pekerja. Sejumlah pembicara seperti Direktur Infid, Sugeng Bahagio, Saiful Bahri Ansori, Anggota DPR dan Presiden Sarbumusi dan Khalid Syairozi, Sekjen Isnu mengkritisi mekanisme penyusunan RUU yang dianggap bermasalah.
"Jadi, RUU Ciptaker mungkin bisa memuluskan agenda investasi, tapi tidak boleh sampai menghilangkan hak-hak dan perlindungan kepada pekerja," ujar Imdadun Rahmat, Direktur SAS yang menjadi pemantik diskusi.
(akr)
tulis komentar anda