Mas Bud! Nih Fakta Pahit dari Indef Soal Industri 4.0
Kamis, 15 April 2021 - 14:46 WIB
JAKARTA - Head of Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menyebutkan fakta pahit mengenai ekosistem research and development (R&D) Indonesia. Dia mengatakan, ekosistem R&D Indonesia masih sangat rendah karena beberapa kondisi yang memberatkan.
"Pertama, proporsi dana R&D terhadap PDB masih sangat rendah. Lalu yang kedua, produk high-tech Indonesia masih sangat sedikit," ujar Nailul dalam video virtual di Jakarta, Kamis(15/4/2021). ( Baca juga:Mudik Dilarang, UMKM Daerah Tambah Megap-megap )
Dia juga mengatakan bahwa kebijakan insentif fiskal tidak optimal. "SDM-nya juga belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0," tambah Nailul.
Hal ini tampak dari ketimpangan digital yang masih tinggi dalam skill dan penggunaan produk digital. Selain itu, dia mencatat bahwa inovasi Indonesia berada di posisi ke-4 terburuk se-ASEAN.
"ICOR Indonesia masih berada di angka 6.7, karena modal yang masuk ke Indonesia semakin tidak efisien dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ongkos inovasi juga semakin mahal," jelas Nailul.
Dia mencontohkan China dan Vietnam sebagai negara yang berhasil menjadikan dana R&D sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. "Jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah, hanya 216 dari 1 juta penduduk," imbuhnya.
Nailul juga mencatat bahwa hasil paten Indonesia juga rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer pun masih sangat rendah, hanya 3,5% dari penduduk muda dan dewasa.
"Indonesia hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Maka dari itu, masih terdapat selisih antara penawaran dan permintaan tenaga kerja sektor ICT, khususnya untuk pekerjaan data dan analisa dan pemrograman di industri fintech," jelas Nailul. ( Baca juga:Pemerintah Tagih Dana BLBI Rp110 Triliun Berupa Uang Maupun Saham )
Sehingga, hanya 36% perusahaan fintech mempekerjakan pekerja asing untuk menutup gap tersebut.
"Ini juga karena ketimpangan sektor TIK di Indonesia yang terus terjadi dan bertambah besar, sebab pengembangan TIK hanya berpusat di pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta," pungkas Nailul.
Fakta-fakta pahit ini bisa menjadi catatan Budiman Sudjatmiko, politisi PDI Perjuangan sekaligus pendiri Gerakan Inovator, yang ingin membangun kawasan teknologi digital ala Silicon Valley dengan nama Bukit Algoritma di Cikidang dan Cibadak Sukabumi, Jawa Barat.
"Pertama, proporsi dana R&D terhadap PDB masih sangat rendah. Lalu yang kedua, produk high-tech Indonesia masih sangat sedikit," ujar Nailul dalam video virtual di Jakarta, Kamis(15/4/2021). ( Baca juga:Mudik Dilarang, UMKM Daerah Tambah Megap-megap )
Dia juga mengatakan bahwa kebijakan insentif fiskal tidak optimal. "SDM-nya juga belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0," tambah Nailul.
Hal ini tampak dari ketimpangan digital yang masih tinggi dalam skill dan penggunaan produk digital. Selain itu, dia mencatat bahwa inovasi Indonesia berada di posisi ke-4 terburuk se-ASEAN.
"ICOR Indonesia masih berada di angka 6.7, karena modal yang masuk ke Indonesia semakin tidak efisien dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ongkos inovasi juga semakin mahal," jelas Nailul.
Dia mencontohkan China dan Vietnam sebagai negara yang berhasil menjadikan dana R&D sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. "Jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah, hanya 216 dari 1 juta penduduk," imbuhnya.
Nailul juga mencatat bahwa hasil paten Indonesia juga rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer pun masih sangat rendah, hanya 3,5% dari penduduk muda dan dewasa.
"Indonesia hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Maka dari itu, masih terdapat selisih antara penawaran dan permintaan tenaga kerja sektor ICT, khususnya untuk pekerjaan data dan analisa dan pemrograman di industri fintech," jelas Nailul. ( Baca juga:Pemerintah Tagih Dana BLBI Rp110 Triliun Berupa Uang Maupun Saham )
Sehingga, hanya 36% perusahaan fintech mempekerjakan pekerja asing untuk menutup gap tersebut.
"Ini juga karena ketimpangan sektor TIK di Indonesia yang terus terjadi dan bertambah besar, sebab pengembangan TIK hanya berpusat di pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta," pungkas Nailul.
Fakta-fakta pahit ini bisa menjadi catatan Budiman Sudjatmiko, politisi PDI Perjuangan sekaligus pendiri Gerakan Inovator, yang ingin membangun kawasan teknologi digital ala Silicon Valley dengan nama Bukit Algoritma di Cikidang dan Cibadak Sukabumi, Jawa Barat.
(uka)
tulis komentar anda