Ekonom: Daripada Pajaki Sembako, Pendidikan dan Kesehatan, Fokus Tarik Pajak Facebook Dkk!

Kamis, 10 Juni 2021 - 12:11 WIB
Pemerintah disarankan kejar pajak orang kaya, raksasa teknlogi dan e-commerce daripada menaikkan PPN sembako, jasa pendidikan dan kesehatan. Foto/Ilustrasi
JAKARTA - Ekonom Achmad Nur Hidayat mengkritisi keras rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk sembako dan juga pengenaan PPN untuk jasa pendidikan, jasa kesehatan. Kebijakan itu dinilainya tidak adil dan sangat merugikan kalangan menengah ke bawah.



Kenaikan pajak itu disebutnya akan langsung berkaitan dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan. Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, menurut Achmad, kenaikan PPN 12% terhadap sembako juga akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi saat ini.

Terkait dengan itu, Achmad pun memberikan saran kepada pemerintah. Daripada malah menimbulkan inflasi di saat ekonomi masih lemah, sebaiknya ide kenaikan PPN sembako, pendidikan dan kesehatan dibatalkan saja karena manfaatnya lebih kecil dibandingkan bahayanya.



"RUU KUP sebaiknya fokus kepada pemberlakuan pajak dari e-commerce dan perusahaan teknologi yang naik daun seperti TIK TOK China, Gojek, Google, Facebook dan Apple," ujarnya di Jakarta, Kamis (10/6/2021).

Achmad mengatakan, Indonesia sebaiknya mengikuti G7 yang sudah menyepakati adanya pemberlakukan pajak yang lebih ketat terhadap perusahaan raksasa teknologi. Dia mencontohkan Facebook yang memiliki Instagram dan Whatsapp yang menikmati keberlimpahan big data dari Indonesia, sementara pajaknya masih rendah.

"Sementara negara-negara maju G7 sibuk memburu kepatuhan pajak perusahaan multinasional raksasa di bidang teknologi dan informasi, di Indonesia malah memburu kelas menengah dengan kenaikan PPN sembako dan jasa pendidikan. Bila terpaksa, tarif PPN final sembako cukup 1% saja," tandasnya.



Selain raksasa teknologi global, Achmad pun menyarankan agar Menkeu Sri Mulyani menargetkan kelompok 1% WNI berpendapatan teratas alias para orang super kaya yang masih banyak menyimpan dananya di luar negeri.

"Patut diingat bahwa tax amnesty 2017 kemarin tidak diikuti dana repatriasi masuk ke dalam negeri dari target dana repatriasi Rp1.000 triliun hanya terealisasi Rp147 triliun," ujarnya.

Menurut dia, orang-orang kaya berpenghasilan teratas itu tidak semua ikut tax amnesty 2017 kemarin. Menurutnya, bila audit pajak dilakukan terhadap kelompok WNI tersebut, pemerintah masih dapat tambahan penerimaan negara dari pemberlakuan sanksi sekitar 200% dari aset mereka.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More