Revisi Aturan Rokok Tidak Urgen: Apa Artinya Jika Industri Tembakau Dimatikan
Rabu, 14 Juli 2021 - 23:25 WIB
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai keputusan merevisi aturan rokok dinilai sejumlah pihak kurang tepat. Di satu sisi, perang melawan Covid-19 belum usai. Anggota Komisi IV DPR RI Mindo Sianipar menyatakan, bahwa kebijakan ini tidak berpihak kepada petani.
Sebagai informasi, pihak pro revisi lantang menyerukan perubahan revisi PP 109 agar segera dijalankan untuk mengoptimalkan pengendalian tembakau. Sementara pihak kontra tegas menolak revisi karena dinilai memberikan dampak signifikan bagi keberlanjutan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara.
“Betul arahnya merugikan petani tembakau,” ujar Mindo di Jakarta, Rabu (14/7/2021).
Ia juga menyatakan, bahwa pandemic telah memperburuk ekonomi Indonesia, untuk itu percepatan penanganannya harus menjadi prioritas utama. “Revisi PP 109 tidak urgen untuk saat ini,” jelasnya.
Senada dengan Mindo, anggota komisi IV DPR fraksi Demokrat Bambang Purwanto berpendapat revisi PP 109 akan berdampak pada penghasilan masyarakat sehingga berpotensi menjadi masalah baru bagi Pemerintah. Ia juga menyoroti monitoring dan sosialisasi peraturan yang ada sehingga dampaknya lebih maksimal.
“Harus disikapi dengan hati-hati, cermat dan cerdas. Saat ini kan belum ada di masyarakat, harus masif dan komprehensif, kalau program yang dijalankan setengah- setengah maka nggak ngaruh itu. Harusnya sosialisasi dari tingkat puskesmas ke tingkat dinas, itu harus digalakkan,” imbuhnya .
Lain halnya dengan Anggota Komisi IV dari fraksi Golkar Firman Soebagyo yang melihat revisi PP 109 sebagai agenda besar LSM internasional untuk melemahkan sektor komoditi unggulan Indonesia. Ia menyatakan Indonesia merupakan negara yang berdaulat sehingga negara harus hadir untuk melihat situasi dan kondisi rakyatnya.
“Apa artinya kalau industri hasil tembakau ini kemudian dimatikan dan tenaga kerjanya akan di PHK? Indonesia itu adalah negara yang berdaulat, maka kita tidak serta merta bahwa harus menjalankan apa yang menjadi kemauan LSM internasional. Apalagi agenda mereka jelas merugikan dan mengganggu kepentingan nasional karena LSM ini juga ada agenda-agenda terselubung dalam masalah persoalan IHT,” katanya.
Firman melihat kesehatan memang penting, namun kebijakan pemerintah harus berimbang, dan mempertimbangkan berbagai macam sektor.
"Oleh karena itu terkait revisi PP 109, bentuk kehadiran negara harus memberikan rasa adil, memberikan kepastian hukum kepada rakyatnya yang memberikan kepastian lapangan pekerjaan dan membutuhkan peningkatan kesejahteraan hasil tembakau dan hasil dari bekerja di pabrik rokok," tandasnya.
Sebagai informasi, pihak pro revisi lantang menyerukan perubahan revisi PP 109 agar segera dijalankan untuk mengoptimalkan pengendalian tembakau. Sementara pihak kontra tegas menolak revisi karena dinilai memberikan dampak signifikan bagi keberlanjutan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara.
“Betul arahnya merugikan petani tembakau,” ujar Mindo di Jakarta, Rabu (14/7/2021).
Ia juga menyatakan, bahwa pandemic telah memperburuk ekonomi Indonesia, untuk itu percepatan penanganannya harus menjadi prioritas utama. “Revisi PP 109 tidak urgen untuk saat ini,” jelasnya.
Senada dengan Mindo, anggota komisi IV DPR fraksi Demokrat Bambang Purwanto berpendapat revisi PP 109 akan berdampak pada penghasilan masyarakat sehingga berpotensi menjadi masalah baru bagi Pemerintah. Ia juga menyoroti monitoring dan sosialisasi peraturan yang ada sehingga dampaknya lebih maksimal.
“Harus disikapi dengan hati-hati, cermat dan cerdas. Saat ini kan belum ada di masyarakat, harus masif dan komprehensif, kalau program yang dijalankan setengah- setengah maka nggak ngaruh itu. Harusnya sosialisasi dari tingkat puskesmas ke tingkat dinas, itu harus digalakkan,” imbuhnya .
Lain halnya dengan Anggota Komisi IV dari fraksi Golkar Firman Soebagyo yang melihat revisi PP 109 sebagai agenda besar LSM internasional untuk melemahkan sektor komoditi unggulan Indonesia. Ia menyatakan Indonesia merupakan negara yang berdaulat sehingga negara harus hadir untuk melihat situasi dan kondisi rakyatnya.
“Apa artinya kalau industri hasil tembakau ini kemudian dimatikan dan tenaga kerjanya akan di PHK? Indonesia itu adalah negara yang berdaulat, maka kita tidak serta merta bahwa harus menjalankan apa yang menjadi kemauan LSM internasional. Apalagi agenda mereka jelas merugikan dan mengganggu kepentingan nasional karena LSM ini juga ada agenda-agenda terselubung dalam masalah persoalan IHT,” katanya.
Firman melihat kesehatan memang penting, namun kebijakan pemerintah harus berimbang, dan mempertimbangkan berbagai macam sektor.
"Oleh karena itu terkait revisi PP 109, bentuk kehadiran negara harus memberikan rasa adil, memberikan kepastian hukum kepada rakyatnya yang memberikan kepastian lapangan pekerjaan dan membutuhkan peningkatan kesejahteraan hasil tembakau dan hasil dari bekerja di pabrik rokok," tandasnya.
(akr)
tulis komentar anda