Penjualan dan Produksi Rokok Turun, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Petani Tembakau
Kamis, 28 Mei 2020 - 20:48 WIB
JAKARTA - Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI)Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahmihudin mengungkapkan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulayani tahun 2019 terkait kenaikan cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35%, telah menurunkan jumlah produksi dan penjualan rokok di tanah air.
Kebijakan tersebut berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat petani tembakau di seluruh Indonesia. Apalagi, pendapatan petani tembakau kian menipis lantaran adanya wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
"Sejak adanya kenaikan cukai rokok, jumlah pembelian tembakau oleh industri rokok kepada para petani mengalami penurunan. Kondisi itu diperparah oleh Covid-19 dan resesi ekonomi. Ini berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tembakau," ujar Sahmihudin dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Ia menjelaskan, ada ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat di perkebunan tembakau, ditambah ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terlibat di sektor industri rokok dan industri pendukungnya. Ini sebuah bukti, industri rokok telah menggerakan perekonomian masyarakat.
Ditambah pemasukan keuangan dari sektor cukai dan pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah, termasuk di musim pendemi Covid-19 ini.
"Saat ini di Provinsi NTB saja, ada sekitar 150.000 hingga 200.000 tenaga kerja yang terlibat di sektor perkebunan tembakau. Belum lagi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya. Ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terserap di industri rokok dan industri pendukungnya. Karena itu pemerintah harus serius melindungi industri rokok dan perkebunan tembakau," jelasnya.
Ia menambahkan, industri hasil tembakau selain padat karya atau menyerap tenaga kerja yang banyak, juga menyerap modal yang tinggi. Biaya yang diperlukan untuk membayar buruh tani tembakau dan pengolahannya sehingga tembakau hasil perkebunan petani tembakau dapat diserap oleh industri rokok dalam setahunnya mencapai Rp800 miliar-Rp1,2 triliun.
Sementara itu, dari 110.000 ton hasil tembakaunya, yang terserap hanya sekitar 50.000 ton tembakau. Sisanya, diserap tetapi dengan harga di bawah pasar.
"Karena itu kami minta pemerintah harus berlaku adil. Kalau industri lainnya diperhatikan, maka industri hasil tembakau termasuk perkebunan tembakau juga mendapat perhatian pemerintah," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus hadir mengatasi permasalahan yang dihadapi petani tembakau juga pelaku industri rokok. Sebab keberlangsungan perkebunan tembakau tergantung dari keberlangsungan industri rokok di Tanah Air.
Dia juga meminta agar dana bagi hasiil cukai hasil tembakau (DBHCHT) yang diperoleh dari perpajakan perkebunan tembakau dan industri rokok di setiap daerah dikembalikan ke pemerintah daerah untuk digunakan bagi peningkatan kualitas produksi tembakau oleh masyarakat petani tembakau. Selama ini, DBHCHT pemanfaatannya salah kaprah, baik oleh pemda maupun pemerintah pusat.
"Masyarakat petani tembakau tidak menikmati DBHCHT. DBHCHT dinikmati kelompok masyarakat lain," pungkasnya.
Kebijakan tersebut berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat petani tembakau di seluruh Indonesia. Apalagi, pendapatan petani tembakau kian menipis lantaran adanya wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
"Sejak adanya kenaikan cukai rokok, jumlah pembelian tembakau oleh industri rokok kepada para petani mengalami penurunan. Kondisi itu diperparah oleh Covid-19 dan resesi ekonomi. Ini berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tembakau," ujar Sahmihudin dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Ia menjelaskan, ada ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat di perkebunan tembakau, ditambah ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terlibat di sektor industri rokok dan industri pendukungnya. Ini sebuah bukti, industri rokok telah menggerakan perekonomian masyarakat.
Ditambah pemasukan keuangan dari sektor cukai dan pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah, termasuk di musim pendemi Covid-19 ini.
"Saat ini di Provinsi NTB saja, ada sekitar 150.000 hingga 200.000 tenaga kerja yang terlibat di sektor perkebunan tembakau. Belum lagi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya. Ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terserap di industri rokok dan industri pendukungnya. Karena itu pemerintah harus serius melindungi industri rokok dan perkebunan tembakau," jelasnya.
Ia menambahkan, industri hasil tembakau selain padat karya atau menyerap tenaga kerja yang banyak, juga menyerap modal yang tinggi. Biaya yang diperlukan untuk membayar buruh tani tembakau dan pengolahannya sehingga tembakau hasil perkebunan petani tembakau dapat diserap oleh industri rokok dalam setahunnya mencapai Rp800 miliar-Rp1,2 triliun.
Sementara itu, dari 110.000 ton hasil tembakaunya, yang terserap hanya sekitar 50.000 ton tembakau. Sisanya, diserap tetapi dengan harga di bawah pasar.
"Karena itu kami minta pemerintah harus berlaku adil. Kalau industri lainnya diperhatikan, maka industri hasil tembakau termasuk perkebunan tembakau juga mendapat perhatian pemerintah," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus hadir mengatasi permasalahan yang dihadapi petani tembakau juga pelaku industri rokok. Sebab keberlangsungan perkebunan tembakau tergantung dari keberlangsungan industri rokok di Tanah Air.
Dia juga meminta agar dana bagi hasiil cukai hasil tembakau (DBHCHT) yang diperoleh dari perpajakan perkebunan tembakau dan industri rokok di setiap daerah dikembalikan ke pemerintah daerah untuk digunakan bagi peningkatan kualitas produksi tembakau oleh masyarakat petani tembakau. Selama ini, DBHCHT pemanfaatannya salah kaprah, baik oleh pemda maupun pemerintah pusat.
"Masyarakat petani tembakau tidak menikmati DBHCHT. DBHCHT dinikmati kelompok masyarakat lain," pungkasnya.
(bon)
tulis komentar anda