Saat Pandemi, Edamame dan Porang tetap Diminati Negara Tujuan Ekspor
Sabtu, 07 Agustus 2021 - 21:27 WIB
Jenis produk edamame untuk pasar domestik antara lain edamame segar, edamame beku (edashi), mukimame (edamame kupas). Di pasar ekspor, perusahaan menjual produk edamame beku, mukimame, dan okra beku.
“Tren pasar ekspor edamame sangatlah bagus. Di kala pandemi, ada kenaikan permintaan di negara tujuan ekspor. Baru tahun lalu, kami mulai ekspor edamame,” ujar Erwan.
(Baca juga:Porang Kabupaten Serang Siap Ekspor di Kala Pendemi)
Di dalam negeri, dikatakan Erwan, produk edamame segar menjadi pilihan konsumen yang sebagian besar diserap kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Pilihan produk segar menunjukkan pertumbuhan ketika munculnya pandemi Covid-19.
“Sekarang ini, konsumen beralih kepada produk segar. Perusahaan dapat menjual ratusan ton edamame segara ke berbagai kota besar terutama Bali. Sebab, banyak wisatawan terutama asal Jepang yang mengunjungi Bali,” ujarnya.
Erwan menjelaskan perusahaan berkomitmen dan fokus kepada manajemen keamanan pangan (food safety). Konsep food safety ini menuntut kemampuan industri pengolahan menerapkan sistem keamanan pangan di setiap unit proses dan pengadaan bahan baku, sehingga produknya aman dikonsumsi.
Dalam food safety ini melibatkan banyak dokumen yang harus disediakan bagi tujuan ketertelusuran jika terjadi komplai atau ketidaksesuaian. Pabrik edamame GMIT mencapai 6.000 ton per tahun yang telah menerapkan standar internasional dengan memerhatikan food safety, food quality, dan traceability.
Selain itu, perusahaan juga menjalin pola kemitraan KSO ditujukan mengubah perilaku petani dari cara konvensional menuju pertanian berbasis standar global sehingga dicapai hasil sesuai spesifikasi pembeli. Dalam program KSO, GMIT memberikan dukungan berupa teknik budidaya edamame, memberi bantuan modal, dan jaminan pasar.
Ketua DPW Pegiat Petani Porang Nusantara Deny Welianto mengatakan belum standarisasi harga porang secara nasional. “Itu yang menjadi problem bagi petani untuk pengembangan budidaya porang secara masif,” kata dia.
Selain itu, serapan pasar, tidak ada keseluruhan pabrik yang ada di wilayah tertentu. Saat ini ada kurang lebih sekitar 18-19 pabrik yang terpisah-pisah dan itu akan membuat jarak mobilisasi petani menjadi lebih berat, atau menambah biaya produksi ketika panen.
“Tren pasar ekspor edamame sangatlah bagus. Di kala pandemi, ada kenaikan permintaan di negara tujuan ekspor. Baru tahun lalu, kami mulai ekspor edamame,” ujar Erwan.
(Baca juga:Porang Kabupaten Serang Siap Ekspor di Kala Pendemi)
Di dalam negeri, dikatakan Erwan, produk edamame segar menjadi pilihan konsumen yang sebagian besar diserap kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Pilihan produk segar menunjukkan pertumbuhan ketika munculnya pandemi Covid-19.
“Sekarang ini, konsumen beralih kepada produk segar. Perusahaan dapat menjual ratusan ton edamame segara ke berbagai kota besar terutama Bali. Sebab, banyak wisatawan terutama asal Jepang yang mengunjungi Bali,” ujarnya.
Erwan menjelaskan perusahaan berkomitmen dan fokus kepada manajemen keamanan pangan (food safety). Konsep food safety ini menuntut kemampuan industri pengolahan menerapkan sistem keamanan pangan di setiap unit proses dan pengadaan bahan baku, sehingga produknya aman dikonsumsi.
Dalam food safety ini melibatkan banyak dokumen yang harus disediakan bagi tujuan ketertelusuran jika terjadi komplai atau ketidaksesuaian. Pabrik edamame GMIT mencapai 6.000 ton per tahun yang telah menerapkan standar internasional dengan memerhatikan food safety, food quality, dan traceability.
Selain itu, perusahaan juga menjalin pola kemitraan KSO ditujukan mengubah perilaku petani dari cara konvensional menuju pertanian berbasis standar global sehingga dicapai hasil sesuai spesifikasi pembeli. Dalam program KSO, GMIT memberikan dukungan berupa teknik budidaya edamame, memberi bantuan modal, dan jaminan pasar.
Ketua DPW Pegiat Petani Porang Nusantara Deny Welianto mengatakan belum standarisasi harga porang secara nasional. “Itu yang menjadi problem bagi petani untuk pengembangan budidaya porang secara masif,” kata dia.
Selain itu, serapan pasar, tidak ada keseluruhan pabrik yang ada di wilayah tertentu. Saat ini ada kurang lebih sekitar 18-19 pabrik yang terpisah-pisah dan itu akan membuat jarak mobilisasi petani menjadi lebih berat, atau menambah biaya produksi ketika panen.
tulis komentar anda