Boikot China Terhadap Australia Telah Mengalihkan Arus Batubara Global
Jum'at, 27 Agustus 2021 - 06:47 WIB
BEIJING - Sejak China melakukan boikot tidak resmi terhadap batubara Australia, pada Oktober lalu dalam eskalasi besar perang dagang kedua negara. Hal itu membuat arus batubara global telah mengalami perombakan besar.
Sementara impor batubara Australia oleh China telah secara efektif turun menjadi nol, di sisi lain impor dari negara lain telah melonjak untuk mengisi kesenjangan. Bagaimanapun, batubara membentuk hampir 60% dari konsumsi energi China, sehingga pasokan yang stabil sangat penting untuk keamanan energi negara itu.
Australia sendiri merupakan eksportir batubara metalurgi (atau kokas) terbesar di dunia, yang digunakan untuk membuat baja. Sedangkan, Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, yang digunakan terutama di pembangkit listrik, dengan Australia mengikuti di urutan kedua.
Sementara itu China sejauh ini merupakan importir batubara terbesar di dunia diikuti oleh India dan Jepang. Dikutip dari qz.com, boikot China tersebut menjadi keuntungan bagi dua negara ini yakni India dan Indonesia.
Ketika ekspor batubara metalurgi Australia ke China anjlok, India melangkah ke depan untuk mengambil pasokan Australia. Menurut data dari perusahaan pelacakan komoditas Kpler. Pembelian tersebut telah dibuat lebih murah mengingat boikot China, menurut para analis.
India juga meningkatkan pembelian batubara termal Australia. Pada bulan April, India mencetak rekor pembelian jumlah batubara termal dari Australia, sebagian dibantu oleh harga yang lebih menarik dibandingkan dengan batubara yang sama dari Afrika Selatan, menurut perusahaan penetapan harga komoditas Argus Media.
Selain India serta Korea Selatan, lalu Taiwan juga membantu mengimbangi sebagian penurunan ekspor batubara termal Australia ke China. Australia juga mengirim lebih banyak batubara termal ke Jepang, dimana ekspor tercatat meningkat lebih dari 60% dari 4,96 Mt pada Oktober menjadi 7,98 Mt pada Januari, menurut data dari Kpler.
Peningkatan pembelian dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan terkait dengan pemulihan aktivitas industri (pdf) setelah kebijakan lockdown akibat pandemi pada paruh pertama tahun 2020.
Sementara impor batubara Australia oleh China telah secara efektif turun menjadi nol, di sisi lain impor dari negara lain telah melonjak untuk mengisi kesenjangan. Bagaimanapun, batubara membentuk hampir 60% dari konsumsi energi China, sehingga pasokan yang stabil sangat penting untuk keamanan energi negara itu.
Australia sendiri merupakan eksportir batubara metalurgi (atau kokas) terbesar di dunia, yang digunakan untuk membuat baja. Sedangkan, Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, yang digunakan terutama di pembangkit listrik, dengan Australia mengikuti di urutan kedua.
Sementara itu China sejauh ini merupakan importir batubara terbesar di dunia diikuti oleh India dan Jepang. Dikutip dari qz.com, boikot China tersebut menjadi keuntungan bagi dua negara ini yakni India dan Indonesia.
Ketika ekspor batubara metalurgi Australia ke China anjlok, India melangkah ke depan untuk mengambil pasokan Australia. Menurut data dari perusahaan pelacakan komoditas Kpler. Pembelian tersebut telah dibuat lebih murah mengingat boikot China, menurut para analis.
India juga meningkatkan pembelian batubara termal Australia. Pada bulan April, India mencetak rekor pembelian jumlah batubara termal dari Australia, sebagian dibantu oleh harga yang lebih menarik dibandingkan dengan batubara yang sama dari Afrika Selatan, menurut perusahaan penetapan harga komoditas Argus Media.
Selain India serta Korea Selatan, lalu Taiwan juga membantu mengimbangi sebagian penurunan ekspor batubara termal Australia ke China. Australia juga mengirim lebih banyak batubara termal ke Jepang, dimana ekspor tercatat meningkat lebih dari 60% dari 4,96 Mt pada Oktober menjadi 7,98 Mt pada Januari, menurut data dari Kpler.
Peningkatan pembelian dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan terkait dengan pemulihan aktivitas industri (pdf) setelah kebijakan lockdown akibat pandemi pada paruh pertama tahun 2020.
tulis komentar anda