Utang Negara Rp6.570,17 Triliun Bisa Dibayar Lewat Pajak, Ekonom: Terlalu Sederhana
Rabu, 01 September 2021 - 10:54 WIB
JAKARTA - Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menerangkan, terlalu sederhana apabila menyebutkan pajak harus naik untuk bayar utang. Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga akhir Juli 2021, utang pemerintah telah tembus Rp6.570,17 triliun atau naik 0,23% dari bulan sebelumnya Rp6.554,56 triliun.
“Kemampuan bayar utang pemerintah juga tidak hanya persoalan penerimaan pajak , tapi juga efektivitas belanja pemerintah produktif atau tidak. Pemerintah ga bisa kemudian bilang, pajak harus naik untuk bayar utang. Itu terlalu menyederhanakan masalah,” kata Bhima saat dihubungi oleh MNC Portal Indonesia, Rabu (1/9/2021).
Sehubungan dengan itu Ia juga menerangkan, saat ini pemerintah telah menerbitkan global bond senilai USD1 Miliar untuk mengurangi akibat utang negara atau pemerintah.
“Saat kondisi pandemi Covid-19, pemerintah telah menerbitkan global bond senilai 1 miliar USD dengan jatuh tempo 50 tahun yang artinya sampai 2070 pemerintah akan meninggalkan beban utang. Apa bisa lunas? Ya belum tentu kan itu masih 2070. Beda pemerintahan,” kata Bhima.
Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Menurut Bhima dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga Produk Domestik Bruto nya bisa imbangi kenaikan utang.
“Tapi ini belum terjadi ya, misalnya sepanjang 2014-2021, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180%, disusul belanja barang naik 105% dan belanja pegawai 73%,” paparnya.
Sementara belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti belanja modal hanya tumbuh 68%. Bhima mengaku senali tinggi penggunaan utang untuk hal yang konsumtif, maka beban utang naik tapi tidak berdampak banyak bagi perekonomian.
“Pemerintah harus berkaca diri, melihat postur anggarannya sudah ideal belum dari sisi belanja? Kemudian cek juga bagaimana penggunaan dana APBN untuk pemda dan lain sebagainya,” pungkasnya.
“Kemampuan bayar utang pemerintah juga tidak hanya persoalan penerimaan pajak , tapi juga efektivitas belanja pemerintah produktif atau tidak. Pemerintah ga bisa kemudian bilang, pajak harus naik untuk bayar utang. Itu terlalu menyederhanakan masalah,” kata Bhima saat dihubungi oleh MNC Portal Indonesia, Rabu (1/9/2021).
Baca Juga
Sehubungan dengan itu Ia juga menerangkan, saat ini pemerintah telah menerbitkan global bond senilai USD1 Miliar untuk mengurangi akibat utang negara atau pemerintah.
“Saat kondisi pandemi Covid-19, pemerintah telah menerbitkan global bond senilai 1 miliar USD dengan jatuh tempo 50 tahun yang artinya sampai 2070 pemerintah akan meninggalkan beban utang. Apa bisa lunas? Ya belum tentu kan itu masih 2070. Beda pemerintahan,” kata Bhima.
Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Menurut Bhima dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga Produk Domestik Bruto nya bisa imbangi kenaikan utang.
“Tapi ini belum terjadi ya, misalnya sepanjang 2014-2021, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180%, disusul belanja barang naik 105% dan belanja pegawai 73%,” paparnya.
Sementara belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti belanja modal hanya tumbuh 68%. Bhima mengaku senali tinggi penggunaan utang untuk hal yang konsumtif, maka beban utang naik tapi tidak berdampak banyak bagi perekonomian.
“Pemerintah harus berkaca diri, melihat postur anggarannya sudah ideal belum dari sisi belanja? Kemudian cek juga bagaimana penggunaan dana APBN untuk pemda dan lain sebagainya,” pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda