Mendorong Anak Muda Terjun ke Dunia Pertanian
Sabtu, 30 Mei 2020 - 20:13 WIB
BOGOR - Pandemi Covid-19 tak hanya menghadirkan ancaman terhadap kesehatan manusia, tetapi juga krisis pangan. Namun di balik kondisi ini, seharusnya pandemi menyadarkan kita bahwa pangan tetaplah menjadi kebutuhan kunci bagi seluruh penduduk dunia. Dalam konteks ini, petani menjadi kunci utama pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
"Kehadiran petani menjadi penanda kesehatan masyarakat akan terjaga. Hal ini mendorong petani-petani untuk hadir dan mengisi garda depan bersama tenaga medis dalam menghadapi Covid–19," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, dalam acara diskusi Obrolin Pangan #11 bertajuk: 'Petani: Profesi yang (tak) Dirindukan Sarjana Pertanian' yang dilaksanakan secara daring.
Dalam acara yang diselenggarakan KRKP bersama Aliansi Organis Indonesia (AOI) itu, Ayip -sapaan akrab Said Abdullah- menyayangkan, kondisi pertanian di Indonesia justru masih sangat jauh dari ideal. "Pertanian lagi-lagi masih belum menjadi sektor yang digemari, digandrungi dan diutamakan setiap orang bahkan oleh sarjana pertanian," tegasnya.
Krisis minat sarjana pertanian pada dunia pertanian ini, kata Ayip, celakanya, terjadi merata hampir di seluruh universitas di Indonesia. "Sarjana pertanian itu, terutama di Bogor (IPB-red), bidang apa pun bisa melakukan apa pun, kecuali satu bidang yaitu pertanian. Jokes ini menjadi relevan dengan judul diskusi kita," ujarnya sedikit berjenaka.
Jika melihat data BPS tahun 2003, usia petani semakin menua. "Pemuda hanya 12,2% saja yang terjun di bidang pertanian," paparnya.
Apabila melihat pada komoditasnya, kata Ayip, akan terlihat semakin "mengerikan", karena pemuda yang berminat pada pertanian, juga tak banyak yang berminat menanam padi yang merupakan pangan pokok masyarakat Indonesia saat ini. "Spesifik tanaman pangan padi angkanya mengerikan, hanya 9,5% pemuda yang berminat. Kelompok ini pun, merupakan kelompok yang kalah dalam artian kelompok yang tidak diterima dalam bidang lain," jelasnya.
Lebih celakanya lagi, dari pemuda yang berminat terjun menanam padi, yang berpendidikan sarjana hanya 0,8%. "Padahal setiap tahun lulusan pertanian ribuan. Tapi ini adalah anomali juga. Data LPPM IPB mengungkapkan, sarjana pertanian yang langsung terjun ke pertanian sangat sedikit. Biasanya mereka muter dulu di sektor lain dan ketika mereka pede akan ke pertanian," paparnya.
Kondisi serupa sebenarnya juga terjadi pada minat pemuda untuk terjun ke pertanian di bidang hortikultura. Survei KRKP tahun 2014 di Kediri, Tegal, Karawang dan Bogor, pada tanaman pangan dan hortikultura menunjukkan, keluarga tanaman pangan hanya 37% anak muda yang mau meneruskan usaha pertanian orangtuanya. Sedangkan hortikultura 46%.
Angka keluarga yang ingin anak mereka meneruskan usaha pertanian di bidang hortikultura tampak lebih tinggi dan hal ini wajar mengingat tanaman hortikultura lebih tinggi harganya sehingga petaninya pun penghasilannya bisa lebih tinggi. Namun disparitas angka peminatan juga tidak begitu jauh antara tanaman pangan dan hortikultura.
"Kehadiran petani menjadi penanda kesehatan masyarakat akan terjaga. Hal ini mendorong petani-petani untuk hadir dan mengisi garda depan bersama tenaga medis dalam menghadapi Covid–19," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, dalam acara diskusi Obrolin Pangan #11 bertajuk: 'Petani: Profesi yang (tak) Dirindukan Sarjana Pertanian' yang dilaksanakan secara daring.
Dalam acara yang diselenggarakan KRKP bersama Aliansi Organis Indonesia (AOI) itu, Ayip -sapaan akrab Said Abdullah- menyayangkan, kondisi pertanian di Indonesia justru masih sangat jauh dari ideal. "Pertanian lagi-lagi masih belum menjadi sektor yang digemari, digandrungi dan diutamakan setiap orang bahkan oleh sarjana pertanian," tegasnya.
Krisis minat sarjana pertanian pada dunia pertanian ini, kata Ayip, celakanya, terjadi merata hampir di seluruh universitas di Indonesia. "Sarjana pertanian itu, terutama di Bogor (IPB-red), bidang apa pun bisa melakukan apa pun, kecuali satu bidang yaitu pertanian. Jokes ini menjadi relevan dengan judul diskusi kita," ujarnya sedikit berjenaka.
Jika melihat data BPS tahun 2003, usia petani semakin menua. "Pemuda hanya 12,2% saja yang terjun di bidang pertanian," paparnya.
Apabila melihat pada komoditasnya, kata Ayip, akan terlihat semakin "mengerikan", karena pemuda yang berminat pada pertanian, juga tak banyak yang berminat menanam padi yang merupakan pangan pokok masyarakat Indonesia saat ini. "Spesifik tanaman pangan padi angkanya mengerikan, hanya 9,5% pemuda yang berminat. Kelompok ini pun, merupakan kelompok yang kalah dalam artian kelompok yang tidak diterima dalam bidang lain," jelasnya.
Lebih celakanya lagi, dari pemuda yang berminat terjun menanam padi, yang berpendidikan sarjana hanya 0,8%. "Padahal setiap tahun lulusan pertanian ribuan. Tapi ini adalah anomali juga. Data LPPM IPB mengungkapkan, sarjana pertanian yang langsung terjun ke pertanian sangat sedikit. Biasanya mereka muter dulu di sektor lain dan ketika mereka pede akan ke pertanian," paparnya.
Kondisi serupa sebenarnya juga terjadi pada minat pemuda untuk terjun ke pertanian di bidang hortikultura. Survei KRKP tahun 2014 di Kediri, Tegal, Karawang dan Bogor, pada tanaman pangan dan hortikultura menunjukkan, keluarga tanaman pangan hanya 37% anak muda yang mau meneruskan usaha pertanian orangtuanya. Sedangkan hortikultura 46%.
Angka keluarga yang ingin anak mereka meneruskan usaha pertanian di bidang hortikultura tampak lebih tinggi dan hal ini wajar mengingat tanaman hortikultura lebih tinggi harganya sehingga petaninya pun penghasilannya bisa lebih tinggi. Namun disparitas angka peminatan juga tidak begitu jauh antara tanaman pangan dan hortikultura.
tulis komentar anda