Larangan Minimarket Jualan Rokok Terang-terangan, Pengusaha: Berlebihan
Kamis, 23 September 2021 - 07:00 WIB
JAKARTA - Para pengusaha mengeluhkan aturan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang melarang minimarket atau toko berjualan rokok terang-terangan. Peraturan lewat Seruan Gubernur tersebut kurang tepat dan tidak beralasan kuat karena rokok yang dijual di toko maupun minimarket sejatinya bukan barang ilegal karena peredarannya sudah diizinkan dengan pengenaan cukai.
"Semua sudah ada aturan dagang dan kami patuh, termasuk kewajiban membayar pajak," ujar Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta dikutip dari pernyataannya, Rabu (22/9/2021).
Ia pun menyayangkan karena secara tiba-tiba aturan tersebut dikeluarkan tanpa sosialisasi kepada dunia usaha dan tentu akan menambah beban kepada industri. Apalagi, kondisi perekonomian belum benar-benar pulih dari tekanan akibat pandemi Covid-19.
Di samping itu, penempatan penjualan rokok sudah didesain untuk tidak dapat dijangkau konsumen di bawah usia 18 tahun. "Aturan ini jelas sangat berlebihan (lebay), dan nggak jelas," tandas dia.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho menandaskan aturan dari pemerintah pusat dan daerah sudah sangat ketat baik dari hulu hingga hilir. Ia menilai Sergub Anies tidak memiliki jangkauan hukum untuk melakukan pengaturan ke luar internal pemerintahan, apalagi sampai dijadikan acuan penindakan Satpol PP.
Menurut dia memang ada diskresi memberikan kebebasan bertindak bagi pejabat adminstratif, namun ada syarat ketat yang perlu dipenuhi. Misalnya, peraturan tidak boleh melampaui kewenangan regulasi yang berada di atasnya, kemudian karena Sergub bukanlah Peraturan Undang-Undang (PUU) maka tak boleh bersifat mengatur, serta tidak boleh bertentangan dengan regulasi lain baik yang berada di atasnya maupun ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Pemprov DKI sendiri.
Menurut Ali ini yang menjadi masalah karena ketentuan soal Kawasan Tanpa Rokok sudah tuntas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang justru memperbolehkan promosi dan penjualan rokok, bahkan di kawasan tanpa rokok. "Maka dengan adanya substansi mengatur, Sergub ini menjadi aneh karena ada yang sifatnya larangan," kata dia.
Dia mengungkapkan bahwa Sergub tersebut bertentangan bukan hanya dengan PP 109/2012 melainkan juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa rokok adalah produk legal sehingga perlu diberikan secara adil terkait hak-haknya. "Bahkan, Sergub ini juga bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta sendiri yaitu Perda 50/2012," jelasnya.
"Semua sudah ada aturan dagang dan kami patuh, termasuk kewajiban membayar pajak," ujar Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta dikutip dari pernyataannya, Rabu (22/9/2021).
Baca Juga
Ia pun menyayangkan karena secara tiba-tiba aturan tersebut dikeluarkan tanpa sosialisasi kepada dunia usaha dan tentu akan menambah beban kepada industri. Apalagi, kondisi perekonomian belum benar-benar pulih dari tekanan akibat pandemi Covid-19.
Di samping itu, penempatan penjualan rokok sudah didesain untuk tidak dapat dijangkau konsumen di bawah usia 18 tahun. "Aturan ini jelas sangat berlebihan (lebay), dan nggak jelas," tandas dia.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho menandaskan aturan dari pemerintah pusat dan daerah sudah sangat ketat baik dari hulu hingga hilir. Ia menilai Sergub Anies tidak memiliki jangkauan hukum untuk melakukan pengaturan ke luar internal pemerintahan, apalagi sampai dijadikan acuan penindakan Satpol PP.
Menurut dia memang ada diskresi memberikan kebebasan bertindak bagi pejabat adminstratif, namun ada syarat ketat yang perlu dipenuhi. Misalnya, peraturan tidak boleh melampaui kewenangan regulasi yang berada di atasnya, kemudian karena Sergub bukanlah Peraturan Undang-Undang (PUU) maka tak boleh bersifat mengatur, serta tidak boleh bertentangan dengan regulasi lain baik yang berada di atasnya maupun ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Pemprov DKI sendiri.
Menurut Ali ini yang menjadi masalah karena ketentuan soal Kawasan Tanpa Rokok sudah tuntas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang justru memperbolehkan promosi dan penjualan rokok, bahkan di kawasan tanpa rokok. "Maka dengan adanya substansi mengatur, Sergub ini menjadi aneh karena ada yang sifatnya larangan," kata dia.
Dia mengungkapkan bahwa Sergub tersebut bertentangan bukan hanya dengan PP 109/2012 melainkan juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa rokok adalah produk legal sehingga perlu diberikan secara adil terkait hak-haknya. "Bahkan, Sergub ini juga bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta sendiri yaitu Perda 50/2012," jelasnya.
(nng)
tulis komentar anda