Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III Diramal Tak Capai 5 Persen, Ini Sebabnya
Minggu, 26 September 2021 - 16:01 WIB
Menurut dia, kemungkinan surplus perdagangan di bulan September tidak akan setinggi bulan Agustus. "Sementara, ekspor diprediksi akan mampu menolong, tetapi motor penggerak lainnya juga perlu diperhatikan,” tandas pria berkacamata itu.
Dia menyontohkan motor penggerak dimaksud misalnya seperti belanja pemerintah. Bhima menilai penyerapan belanja pemerintah saat ini masih cenderung lambat. Hal itu tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kerap mengeluhkan ihwal serapan anggaran di daerah yang rendah serta banyaknya pemerintah daerah yang masih memarkir dananya di perbankan.
“Itu kan menunjukkan bahwa kualitas serapan anggarannya masih belum bisa diandalkan untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di kuartal III,” cetusnya.
Untuk investasi, Bhima menuturkan bahwa kini ada peningkatan. Namun, menurutnya, investasi ini juga tergantung dari seberapa cepat pemulihan dari sisi konsumsi rumah tangga.
“Jadi ini saling berpengaruh. Walaupun investasinya ada pemulihan, tapi pemulihannya masih parsial dan banyak bergerak di sektor yang berkaitan dengan pengolahan mineral, tambang, nikel, serta sektor yang bergerak di bidang digital,” urainya.
Dia memandang bahwa sekarang ini yang harus dilakukan bukan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi supaya bisa positif, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana menjaganya.
Hal itu bukan tanpa sebab. Bhima menerangkan, bahwasanya saat ini mulai banyak tekanan dari luar khususnya kabar potensi default dari raksasa properti asal China Evergrande yang terancam gagal membayar utang.
Hal itu perlu diwaspadai karena akan berdampak pada pemulihan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia. “Apalagi porsi ekspor Indonesia ke China juga cukup dominan. Nah, itu yang perlu diperhatikan,” sambungnya.
“Jadi, saat ini pemerintah sebaiknya fokus untuk mempertahankan pertumbuhan positif kembali ke level sebelum pandemi khususnya pada 2022. Itu yang lebih mendesak,” pungkas Bhima.
Dia menyontohkan motor penggerak dimaksud misalnya seperti belanja pemerintah. Bhima menilai penyerapan belanja pemerintah saat ini masih cenderung lambat. Hal itu tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kerap mengeluhkan ihwal serapan anggaran di daerah yang rendah serta banyaknya pemerintah daerah yang masih memarkir dananya di perbankan.
“Itu kan menunjukkan bahwa kualitas serapan anggarannya masih belum bisa diandalkan untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di kuartal III,” cetusnya.
Untuk investasi, Bhima menuturkan bahwa kini ada peningkatan. Namun, menurutnya, investasi ini juga tergantung dari seberapa cepat pemulihan dari sisi konsumsi rumah tangga.
“Jadi ini saling berpengaruh. Walaupun investasinya ada pemulihan, tapi pemulihannya masih parsial dan banyak bergerak di sektor yang berkaitan dengan pengolahan mineral, tambang, nikel, serta sektor yang bergerak di bidang digital,” urainya.
Dia memandang bahwa sekarang ini yang harus dilakukan bukan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi supaya bisa positif, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana menjaganya.
Hal itu bukan tanpa sebab. Bhima menerangkan, bahwasanya saat ini mulai banyak tekanan dari luar khususnya kabar potensi default dari raksasa properti asal China Evergrande yang terancam gagal membayar utang.
Hal itu perlu diwaspadai karena akan berdampak pada pemulihan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia. “Apalagi porsi ekspor Indonesia ke China juga cukup dominan. Nah, itu yang perlu diperhatikan,” sambungnya.
“Jadi, saat ini pemerintah sebaiknya fokus untuk mempertahankan pertumbuhan positif kembali ke level sebelum pandemi khususnya pada 2022. Itu yang lebih mendesak,” pungkas Bhima.
(ind)
tulis komentar anda