Indonesia Perlu Belajar dari Krisis Listrik di China
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 11:47 WIB
JAKARTA - Pemerintah perlu memetik pelajaran dari kejadian krisis energi listrik di China. Akibat krisis energi berbagai masalah pun muncul, mulai dari harga listrik yang mahal, makanan langka, pemadaman listrik hingga berhentinya produksi manufaktur.
Krisis energi di China akibat kebijakan mengejar target bauran energi terbarukan (ET) yang ekstrem tetapi abai terhadap kepentingan nasional. Begitu juga dengan Inggris yang gencar membatasi pasokan batu bara demi mengejar ET.
Namun pada akhirnya negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengampanyekan energi terbarukan kembali menggunakan PLTU di tengah krisis energi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra El Talattov mengatakan ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. Kepentingan nasional jauh lebih penting sehingga komitmen terhadap ET dinomorduakan karena hunungannya dengan ketahanan energi nasional.
"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju," kata dia seperti dikutip dari pernyataannya, Jumat (1/10/2021).
Abra mengingatkan pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang.
"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke ET, tapi nyatanya kita belum selevel dengan negara-negara lain. Di sisi bauran EBT global 12 persen, tapi ambisi kita lebih dari itu," kata dia.
Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply dan demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT). Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis energi terbarukan dikenakan skema feed in tariff.
Krisis energi di China akibat kebijakan mengejar target bauran energi terbarukan (ET) yang ekstrem tetapi abai terhadap kepentingan nasional. Begitu juga dengan Inggris yang gencar membatasi pasokan batu bara demi mengejar ET.
Namun pada akhirnya negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengampanyekan energi terbarukan kembali menggunakan PLTU di tengah krisis energi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra El Talattov mengatakan ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. Kepentingan nasional jauh lebih penting sehingga komitmen terhadap ET dinomorduakan karena hunungannya dengan ketahanan energi nasional.
"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju," kata dia seperti dikutip dari pernyataannya, Jumat (1/10/2021).
Abra mengingatkan pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang.
"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke ET, tapi nyatanya kita belum selevel dengan negara-negara lain. Di sisi bauran EBT global 12 persen, tapi ambisi kita lebih dari itu," kata dia.
Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply dan demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT). Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis energi terbarukan dikenakan skema feed in tariff.
tulis komentar anda