Core Usul BI Cetak Uang untuk Selamatkan Ekonomi RI

Kamis, 04 Juni 2020 - 10:57 WIB
Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada tahun 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200% yoy sehingga kemudian menyebabkan terjadinya hiperinflasi.

Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi, jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB. Saat ini rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38%.

Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125%, 124%, dan 158%. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200%, atau Jepang yang di atas 200%.

"Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi," katanya.

Dia melanjutkan, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, Core Indonesia berkeyakinan bahwa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966.

Secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan cetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960-an itu menyebabkan hiperinflasi.

"Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya," katanya.

Dia melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini.

Pertama, sebagaimana diuraikan sebelumnya pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus. "Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan," katanya.

Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik. Memang benar beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat.

"Namun secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap," katanya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More