Masa Depan Globalisasi Pascapandemi

Rabu, 12 Januari 2022 - 12:13 WIB
Profesor Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel ekonomi dalam bukunya “Globalization and its Discontents Revisted: Anti-Globalization in the Era of Trump” (2017), menulis bahwa penentang globalisasi kini juga berasal dari kelas bawah dan menengah negara-negara maju, kelompok yang sempat diuntungkan dari globalisasi. Presiden Trump kemudian menggunakan rasa tidak puas ini dan mengaplikasikannya untuk komoditas politik. Bahkan kebijakan bertransformasi menjadi kebijakan luar negeri AS. Di bawah administrasi Presiden Trump, AS terlibat dalam perang dagang dengan China.

Dengan meluasanya ketidakpuasan atas globalisasi hingga ke negara-negara maju, muncul pertanyaan apakah memang tren globalisasi akan berakhir? Dan apakah memang pandemi telah mempercepat laju deglobalisasi?

Sepanjang sejarah, globalisasi tidak selalu linear dan tentunya mengalami pasang surut. Tren belakangan memang menunjukkan surutnya globalisasi. Contohnya, bila kita lihat dari rasio antara perdagangan internasional—ekspor dan impor—terhadap produk domestik bruto global, ada tren penurunan atas rasio ini. Rasio perdagangan internasional terhadap PDB global mencapai puncak tertinggi di tahun 2008, yang mencapai 60,9 persen di tahun 2008—tertinggi sepanjang masa sejak perang dunia kedua (World Bank 2020).

Namun sejak krisis keuangan global di tahun 2008-2009, rasio ini anjlok menjadi 52,4 persen di tahun 2009. Pandemi Covid-19 dan perang dagang AS-China sebelumnya, juga menekan rasio ini. Di tahun 2020, rasio perdagangan internasional terhadap PDB global turun menjadi 51,5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan periode krisis keuangan global.

Pandemik Covid-19 tampaknya memperburuk tren globalisasi. DHL Global Connected Index terbaru melaporkan bahwa pergerakan manusia di era pandemik, yang ditandai oleh perjalanan internasional per kapita, di tahun 2020 jatuh ke tingkat yang setara pada era 1970an. Satu-satunya indikator globalisasi yang masih kuat hanyalah indeks informasi, yang disebabkan karena kenaikan drastis penggunaan internet akibat Covid-19.

Namun di sisi lain ada indikasi arus balik dari tren deglobalisasi ini. Memasuki tahun 2021 kita melihat adanya kenaikan drastis aliran perdagangan global. Temuan menunjukkan bahwa jalur perdagangan tersibuk di dunia tetap menjadi jalur timur transpasifik antara Asia dan wilayah Amerika Utara. Bahkan ditengah disrupsi rantai suplai, Port of Los Angeles—salah satu pelabuhan tersibuk di AS—mencatat kenaikan drastis di bulan September 2021 (Greene 2021).

Persoalan Global Butuh Kerja Sama Global

Selain pandemi Covid-19, kita juga menghadapi persoalan global yang seharusnya menguatkan kerja sama global. Perubahan iklim, ancaman eksistensial yang nyata, sangat membutuhkan solusi dan kerja sama yang bersifat global.

Laporan terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah sangat jelas menunjukkan bahwa tanpa aksi serius untuk mengatasi perubahan iklim, suhu global dunia akan meningkat lebih dari 2°C di tahun 2100 dibandingkan dengan era sebelum revolusi industri. Bila ini terjadi maka manusia telah kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari bencana global.

Temun IPCC ini juga menjadi latar belakang pentingnya pertemuan tingkat tinggi Conference of Parties ke 26 (COP26) ke-26 di Glasgow, Inggris. Pertemuan KTT COP26 di Glasgow telah menyepakati empat tujuan besar yang mencakup antara lain Mitigasi, Adaptasi, Mobilisasi keuangan global, dan Kolaborasi antarnegara untuk mencapai target yang ambisius.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More